Perang dan Sebab Kehancuran Sebuah Bangsa

Oleh Asih Subagyo*

PERANG Rusia vs Ukraina sudah mendekati dua bulan. Akan tetapi masih blum jelas dan pasti kapan berakhirnya. Meskipun beberapa wilayah Ukraina sudah luluh lantak, oleh gempuran tentara Rusia, tetapi Ukraina masih belum menyerah.

Bacaan Lainnya

Yang lebih keji lagi adalah penjajahan Israel atas Palestina. Sudah lebih dari 74 tahun, invasi dan aneksasi dilakukan dan penindasan terus terjadi. Bahkan beberapa hari ini, jama’ah masjid al-Aqsa, dengan brutal diserang oleh tentara Israel.

Akan tetapi qodarullah, bangsa Palestina masih tetap kokoh berdiri dengan kondisi yang tertekan, akan tetapi tetap terus melakukan perlawanan hingga mendapatkan kemerdekaan.

Jauh sebelum itu, baik dalam bentuk kerajaan, kesultanan ataupun negara bangsa, peristiwa jatuh bangunnya banyak menjadi catatan sejarah. Padahal mereka sangat kokoh, kuat, maju dan modern peradabannya di jamannya.

Ironisnya tidak sedikit kerajaan, kesultanan, ataupun negara bangsa itu, pada akhirna lenyap dan hilang tak berbekas sama sekali. Yang ada hanya cerita besar masa lalu, dan menjadi dongeng dikemudian hari.

Sejarah umat manusia memang begitu. Ada siklus jatuh bangunya. Ada perulangannya. Yang membedakan tempat dan pelakunya. Akan tetapi pola, model, dan bentuknya relatif sama.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kerajaan, kesultanan, dan negara-negara itu bisa hancur dan musnah. Apakah murni akibat peperangan, penjajahan artinya sebab eksternal, ataukah penyebab internal, atau hal lain?

Ternyata 600 tahun lalu seorang ulama muslim bernama Ibnu Khaldun telah mengemukakan sebuah teori berkenaan dengan jatuh bangunnya sebuah peradaban, yang sebenarnya bisa direduksi kepada sebuah negara atau sebuah organisasi apapun bentuknya.

Teori Ibnu Khaldun itu dituangkan dalam sebuah khitab dengan judul Muqadimmah. Kitab ini menjadi rujukan dunia Islam dan Barat. Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami, lahir (27Mei 1332 – 19 Maret 1406) di Tunis, dari keluarga kelas atas Andalusia keturunan Arab, Bani Khaldun.

Nenek moyangnya telah memegang banyak jabatan tinggi di Andalusia dan kemudian berimigrasi ke Tunisia, ketika terjadi kemunduran di Andalusia. Ia sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi.

Kitab Muqaddimah yang terkenal itu sendiri sedemikian fenomenal, karena memiliki ruang lingkup yang luas ini merupakan bagian prolegomena (pengantar) dari kitab Al-‘Ibar, wa Diwan Al-Mubtada’ wa Al-Khabar, fi Ayyam Al-‘Arab wa Al-‘Ajam wa Al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi As-Sulthani Al-‘Akbar (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang Mencakup Peristiwa Politik tentang Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka). Sehingga menjadi rujukan yang terlengkap, yang memotret peradaban Islam, hinga jamanya, dibebagai aspek kehidupan.

Tesis Ibn Khaldun

Dikutip dari Wikipedia, berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175)

Pertama, tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (‘ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. Saat itu dinasti menjauhi pajak yang berat.

Kedua, tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.

Ketiga, tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. Sehingga perhatiannya banyak difokuskan pada pengumpulan pajak, administrasi penerimaan dan pengeluaran publik. Pengembangan kota, pembangunan gedung-gedung besar, peningkatan tunjangan pejabat, dan masyarakat umum menarik perhatian.

Keempat, tahap kepuasan hati, tenteram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. Ia membatasi aktivitasnya, mengikuti jejak mereka dengan cermat. Ia tidak mengambil inisiatif sendiri. Ekspansi kekuatan politik-ekonomi terhenti dan terjadilah semacam stagnasi.

Kelima, tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini pajak meningkat. Sementara pendapatan menurun. Ekonomi hancur dan sistem sosial terganggu.

Pemerintah menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, yang menyebabkan kejatuhannya. Kemudian diambil alih oleh dinasti baru, didukung oleh perasaan kelompok yang kuat dan kohesi sosial.

Dan diantara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya. Pada tahap ke-5 ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:

Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.

Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.

Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara.

Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.

Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan.

Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru.

Dan, kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini pada dunia modern dikenal dengan Teori Siklus.

Kenyataan di atas, dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk melihat situasi dan kondisi di sebuah negara dan pada skala kecil bisa juga dalam organisasi.

Beberapa indikator yang dirumuskan oleh Ibnu Khaldun tersebut, ternyata tetap relevan hingga saat ini. Meskipun disesuaikan dengan realitas kekinian, akan tetapi substansinya sama dan sebangun.

Dan begitulah khazanah Islam, yang dipenuhi dengan pemikir-pemikir hebat, yang teori dan gagasannya, tidak lekang oleh waktu dan jaman. Pertanyaanya adalah, diposisi mana negara atau organisasi kita saat ini? Wallahu a’lam.

Asih SubagyoSenior Researcher Hidayatullah Institute