PERINGATAN malam Nuzulul Qur’an pada 17 Ramadhan merupakan salah satu tradisi keagamaan yang telah mengakar kuat dalam budaya umat Islam di Indonesia. Peristiwa ini menandai turunnya wahyu pertama Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dicatat dalam sejarah Islam pada 17 Ramadhan 610 M di Gua Hira, berupa Surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Di Indonesia, peringatan ini tidak hanya menjadi momentum spiritual, tetapi juga simbol integrasi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, yang secara historis telah didukung oleh para pemimpin negara sejak era kemerdekaan. Namun, pada Ramadhan 1446 H, tepatnya pada hari ini, 21 Maret 2025, ketika puasa telah memasuki hari ke-21, belum terdengar pernyataan resmi dari Presiden Prabowo Subianto terkait peringatan malam Nuzulul Qur’an yang jatuh pada 17 Ramadhan 1446 H, atau 16-17 Maret 2025.
Ketidakhadiran pernyataan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kesinambungan tradisi yang telah dibangun oleh presiden-presiden sebelumnya, yang secara konsisten menjadikan momen ini sebagai sarana penguatan identitas nasional dan keagamaan.
Secara historis, peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia memiliki dimensi yang unik. Tradisi ini pertama kali diresmikan sebagai perayaan nasional di Istana Negara oleh Presiden Soekarno, yang menjadikannya bagian dari syukur atas kemerdekaan bangsa.
Soekarno, dengan visi kebangsaannya yang inklusif, memandang Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi moral dan intelektual yang mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat Indonesia. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh presiden-presiden berikutnya, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang secara rutin menyampaikan pesan-pesan keislaman dan kebangsaan setiap 17 Ramadhan.
Dalam sambutannya pada peringatan Nuzulul Qur’an 1440 H, pada 21 Mei 2019 di Istana Negara, Jokowi menegaskan Nuzulul Qur’an tidak hanya diposisikan sebagai peristiwa keagamaan tetapi juga sebagai bagian dari narasi kebangsaan yang memperkuat kohesi sosial dimana tradisi ini merupakan warisan Soekarno yang lahir dari nasihat para ulama, sebagai wujud syukur atas anugerah kemerdekaan yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia.
Namun, hingga hari ke-21 Ramadhan 1446 H, absennya pernyataan resmi dari Presiden Prabowo terkait peringatan malam Nuzulul Qur’an menimbulkan kontrast yang signifikan dengan pendahulunya. Padahal, dalam tradisi kepemimpinan Indonesia, momen ini selalu dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang relevan dengan konteks sosial dan politik kontemporer.
Misalnya, Soekarno menggunakan peringatan ini untuk menegaskan pentingnya persatuan dalam keragaman, sementara Jokowi kerap menekankan nilai-nilai toleransi dan kesalehan sosial yang selaras dengan ajaran Al-Qur’an.
Ketidakhadiran pernyataan dari Prabowo, yang baru menjabat sejak Oktober 2024, dapat diinterpretasikan dari beberapa sudut pandang. Pertama, hal ini mungkin saja gambaran prioritas awal kepemimpinannya yang lebih fokus pada isu-isu ekonomi dan keamanan nasional, mengingat tantangan global yang dihadapi Indonesia pada 2025.
Kedua, bisa jadi ada pendekatan baru dalam komunikasi publik yang belum sepenuhnya terungkap, atau bahkan ketidakpekaan terhadap tradisi ini yang telah menjadi bagian dari identitas kebangsaan.
Dalam pada itu, absennya pernyataan ini dapat dianalisis melalui lensa sosiologi politik dan komunikasi simbolik. Dalam konteks sosiologi politik, peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga alat legitimasi simbolik yang menunjukkan komitmen pemimpin terhadap mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam.
Ketika tradisi ini tidak dilanjutkan atau tidak dipertegas, maka ada potensi persepsi bahwa pemerintah kurang menghargai dimensi keagamaan dalam kehidupan berbangsa.
Sementara itu, dari sudut komunikasi simbolik, pernyataan presiden pada momen seperti Nuzulul Qur’an memiliki fungsi performatif yang memperkuat ikatan emosional antara pemimpin dan rakyat. Tanpa adanya pernyataan tersebut, ruang simbolik ini menjadi kosong, yang dapat memunculkan spekulasi atau kekecewaan di kalangan masyarakat yang mengharapkan kontinuitas tradisi.
Lebih jauh, ketidakhadiran pernyataan ini juga perlu dilihat dalam konteks teologis dan historis Nuzulul Qur’an itu sendiri. Peringatan 17 Ramadhan mengacu pada turunnya wahyu pertama, yang menandai dimulainya misi kenabian Nabi Muhammad SAW. Para ulama, seperti Imam Syafi’i, menegaskan bahwa peristiwa ini terjadi pada 17 Ramadhan, meskipun ada perbedaan pendapat dengan yang menyatakan 24 Ramadhan atau malam Lailatul Qadar.
Di Indonesia, penetapan 17 Ramadhan sebagai hari peringatan juga didukung oleh Buya Hamka, yang mengusulkannya kepada Soekarno dengan mempertimbangkan signifikansi angka 17 dalam sejarah kemerdekaan (17 Agustus 1945). Oleh karena itu, tradisi ini memiliki akar yang dalam, baik dari sisi agama maupun nasionalisme, sehingga absennya perhatian dari presiden dapat dilihat sebagai pengabaian terhadap warisan historis tersebut.
Absennya pernyataan Presiden Prabowo hingga hari ke-21 Ramadhan 1446 H mengenai peringatan Nuzulul Qur’an menimbulkan refleksi kritis tentang bagaimana pemerintah saat ini memposisikan tradisi keagamaan dalam narasi kebangsaan. Mengingat preseden yang telah dibangun oleh Soekarno dan presiden presiden setelahnya.
Kita berharap, semoga ke depannya, Presiden Prabowo dan jajarannya dapat kembali menghidupkan momentum Nuzulul Qur’an sebagai wujud komitmen terhadap harmoni antara keislaman dan kebangsaan, sekaligus memperkuat ikatan simbolik dengan rakyat Indonesia sebagai refleksi dari identitas bangsa yang telah dirajut selama puluhan tahun.
EDITORIAL NASIONALNEWS