KOMISI Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia atau KPK kembali menjalankan tugasnya melakukan pemberantasan korupsi. Terbaru KPK menggeledah rumah dinas Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang merupakan Menteri Pertanian.
Juru bicara KPK Ali Fikri, dalam penggeledahan di rumah dinas SYL menerangkan bahwa penyidik menemukan uang puluhan miliar rupiah dalam bentuk rupiah dan mata uang asing.
Selain itu tim penyidik juga menemukan sejumlah dokumen dan catatan keuangan, yang kini tengah didalami oleh KPK.
Dan, seakan menimbulkan pertanyaan, penggeledahan itu terjadi saat SYL sedang berada di Roma, Italia. Mungkin ada yang bertanya, sengajakah demikian?
Namun demikian penggeledahan itu merupakan upaya paksa yang baru bisa KPK lakukan setelah kasus naik status dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan. Artinya, KPK tetap melalui prosedur.
Berbau Politik?
Meski demikian Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan sejauh ini dia belum melihat adanya motif politik dalam penanganan korupsi yang diduga terjadi di kementerian pertanian.
Namun Zaenur memberikan tiga kriteria apakah KPK independen atau terkontaminasi kepentingan lain.
Salah satu poin Zaenur adalah jika penegak hukum hanya menangani, mengincar, dan memproses secara hukum para penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dari kelompok-kelompok atau partai tertentu saja tetapi tidak menyentuh partai atau kelompok-kelompok lain, khususnya mereka yang sedang berkuasa.
Akibat Revisi UU KPK?
Disamping itu, sebagian pihak menyoroti masalah imparsialitas penegakan hukum yang menduga KPK menjadi terkesan tidak independen akibat revisi UU KPK.
Kita tahu telah disahkan Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Banyak pihak menengarai revisi itu tidak menjadikan KPK lebih kuat, justru sebaliknya.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat bahwa perubahan itu menyebabkan UU KPK kehilangan status sebagai aturan yang berlaku khusus. Dampaknya, tindak pidana korupsi hukum acaranya sama dengan tindak pidana biasa.
Kemudian soal kewenangan KPK kini berada di tangan dewan pengawas.
Dalam Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang lama, pimpinan KPK merupakan penanggung jawab tertinggi yang berwenang menerbitkan surat perintah penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan penangkapan.
Namun dalam UU baru, kewenangan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus.
Di UU yang baru, hampir semua kewenangan pimpinan KPK diambil alih oleh dewan pengawas.
Dengan beberapa fakta itu KPK memang telah “berubah”. Kini pertaruhan ada pada pihak KPK sendiri. Independen atau tidak sangat tergantung dari cara KPK menjalankan tugasnya, memang murni atau ada kontaminasi.[]
EDITORIAL NASIONAL.NEWS