PERNYATAAN kontroversial dari eks pesepakbola Belanda, Kees Kwakman, baru-baru ini mencuri perhatian publik sepakbola tanah air. Dalam wawancaranya di ESPN Belanda, Kwakman mengatakan bahwa kehadiran Timnas Indonesia dan Sudan di Piala Dunia 2026 berpotensi membuat turnamen tersebut “tidak menarik”.
Kees Kwakman bahkan menyebut tempo permainan Indonesia lambat dan mengaku lebih memilih bermain Rummikub bersama putrinya daripada menonton laga yang melibatkan tim-tim seperti Indonesia.
Sebagai pemerhati Timnas, saya merasa perlu meluruskan pernyataan Kees Kwakman ini, terutama karena argumen Kwakman tampaknya berpijak pada pandangan usang yang tidak relevan dengan perkembangan terkini Timnas Indonesia.
Timnas Indonesia Bukan Lagi Tim Medioker 10 Tahun Lalu
Mari kita mulai dengan fakta: penilaian Kwakman terhadap Timnas Indonesia sepertinya terjebak pada memori lama, mungkin dari era 10 atau 15 tahun lalu ketika sepakbola Indonesia memang tengah berjuang dengan berbagai masalah, baik dari sisi performa maupun organisasi.
Namun, siapa pun yang mengikuti perkembangan sepakbola Asia dalam beberapa tahun terakhir pasti tahu bahwa Timnas Indonesia telah menunjukkan kemajuan pesat. Di bawah kepemimpinan PSSI yang kini dipimpin Erick Thohir, serta kehadiran pelatih-pelatih berkualitas seperti Shin Tae Yong, Patrick Kluivert dan Alex Pastoor sebagai asisten pelatih, Skuad Garuda telah bertransformasi menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan di kancah regional dan bahkan internasional.
Lihatlah perjalanan mereka di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Indonesia kini bersaing ketat di Grup C putaran ketiga, melawan raksasa seperti Jepang, Australia, dan Arab Saudi. Mereka berhasil menahan imbang Arab Saudi 1-1 dan Australia 0-0, serta mencatat kemenangan penting atas Bahrain.
Ini bukan lagi tim yang bermain lambat atau mudah dikalahkan seperti yang mungkin pernah dilihat Kwakman di masa lalu. Pemain-pemain seperti Jay Idzes, Ragnar Oratmangoen, dan Marselino Ferdinan membuktikan bahwa Indonesia memiliki talenta berkualitas yang mampu bersaing di level tinggi.
Fakta atau Prasangka?
Kwakman menyebut tempo permainan Indonesia lambat dan kurang menarik. Namun, apakah ia benar-benar menyaksikan pertandingan-pertandingan terbaru Timnas Indonesia? Dalam laga melawan Bahrain pada Maret 2025, misalnya, Indonesia menunjukkan intensitas tinggi dan berhasil mengamankan tiga poin dengan skor 1-0 berkat gol Ole Romeny.
Bahkan saat menghadapi Jepang atau Australia, tim ini mampu mengimbangi permainan lawan dengan strategi yang matang dan transisi cepat. Jika Kwakman memang mengacu pada pertandingan terkini, mungkin ia perlu mempertimbangkan kembali definisinya tentang “menarik” dalam sepakbola.
Sebaliknya, pernyataan Kwakman terkesan lebih sebagai generalisasi yang meragukan. Ia juga mengeluhkan perluasan Piala Dunia menjadi 48 tim, yang menurutnya membuka pintu bagi negara-negara “seperti Indonesia” untuk ikut serta. Ini adalah pandangan yang agak elitis dan mengabaikan esensi sepakbola sebagai olahraga global.
Piala Dunia bukan hanya soal dominasi tim-tim besar, tetapi juga tentang cerita kejutan dan perjuangan tim debutan. Ingat saja kejutan yang dibuat Kosta Rika di 2014 atau Maroko di 2022. Mengapa Indonesia tidak bisa menjadi bagian dari narasi tersebut?
Ada satu sudut pandang lain yang menarik untuk dipertimbangkan: apakah pernyataan Kwakman ini mencerminkan kecemburuan atau sentimen pribadi? Saat ini, Timnas Indonesia diasuh oleh dua figur besar dari Belanda, Patrick Kluivert dan Alex Pastoor, yang berhasil membawa tim ini ke level yang lebih kompetitif.
Kluivert, dengan pengalamannya sebagai striker legendaris, dan Pastoor, dengan pendekatan taktik modernnya, telah mendapatkan kepercayaan besar dari publik Indonesia. Sementara itu, Kwakman, meski pernah menjadi pemain profesional, tidak memiliki karier kepelatihan yang setara atau posisi bergengsi seperti yang dimiliki dua compatriotnya tersebut. Mungkinkah ada sedikit iri hati di balik kritiknya?
Tentu saja, ini hanya spekulasi. Namun, sebagai pengamat, saya merasa pernyataan Kwakman kurang didukung oleh data atau analisis mendalam. Ia lebih terdengar seperti komentar emosional daripada evaluasi objektif. Jika ia ingin mengkritik, setidaknya ia harus menyebutkan pertandingan spesifik atau aspek teknis yang menjadi dasar penilaiannya, bukan sekadar melempar pernyataan umum yang terkesan merendahkan.
Momentum Peluang Indonesia Bersinar
Kembali ke konteks Piala Dunia 2026, perluasan jumlah peserta menjadi 48 tim memang membuka peluang bagi negara-negara seperti Indonesia dan Sudan untuk tampil di panggung dunia. Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa mereka bukan lagi tim pelengkap, tetapi kontestan yang layak.
Dengan dua laga tersisa di putaran ketiga—melawan China dan Jepang—Indonesia masih punya kans untuk finis di empat besar Grup C dan melaju ke putaran keempat. Bahkan, lolos langsung sebagai runner-up bukanlah mimpi yang terlalu muluk.
Jika Indonesia berhasil tampil di Piala Dunia, mereka tidak akan sekadar menjadi “penggembira”. Dengan dukungan suporter yang fanatik dan semangat juang yang tinggi, Timnas Indonesia bisa menjadi kejutan seperti yang pernah dilakukan tim-tim kecil lainnya. Kwakman boleh saja meragukan, tetapi sepakbola penuh dengan ketidakpastian yang justru membuatnya menarik.
Pernyataan Kees Kwakman mungkin dimaksudkan sebagai kritik tajam, tetapi ia tampak gagal melihat realitas bahwa Timnas Indonesia telah berevolusi. Mengatakan bahwa kehadiran Indonesia akan membuat Piala Dunia “tidak menarik” adalah pandangan yang ketinggalan zaman dan kurang berbobot.
Sebagai pengamat, saya justru melihat potensi besar dalam perjuangan Indonesia menuju Piala Dunia 2026. Mereka bukan lagi tim medioker yang mudah diremehkan. Jika Kwakman ingin tetap skeptis, itu haknya. Namun, dunia sepakbola—dan terutama publik Indonesia—tidak akan tinggal diam menyaksikan timnya terus berkembang dan membuktikan bahwa mereka layak mendapat tempat di panggung terbesar.
*) Anchal M. Said, wartawan dan pemerhati sepakbola