Politik, Citra Baik, dan Sebuah Pesan Nyelekit

adam

DALAM kurun waktu belakangan ini, kita disajikan dengan berbagai berita melalui beragam media mainstream maupun sosial. Ratusan hingga ribuan individu bergerak bersama-sama menuju kampung atau pemukiman warga, sekadar untuk menyapa dan menanyakan kabar.

Tak sedikit yang sudah mempersiapkan diri dengan merencanakan beragam kegiatan untuk memobilisasi massa dengan skala yang lebih besar. Semuanya ini terjadi dalam momentum Pemilihan Umum (Pemilu), sebuah ajang yang diadakan setiap lima tahun sekali.

Dalam konteks politik, kunjungan dan dialog bersama warga bukanlah sesuatu yang aneh, melainkan dianggap sebagai strategi efektif untuk mendekatkan diri pada masyarakat. Kegiatan ini lazim dikenal dengan istilah “blusukan.”

Tidak terjadi begitu saja tanpa pertimbangan matang. Namun, bila agenda blusukan yang semula jarang dilakukan tiba-tiba menjadi sesuatu yang rutin, hal tersebut dapat menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian orang yang sebelumnya tidak terbiasa.

Menyimak dan memberikan perhatian akan menciptakan perasaan dihargai. Oleh karena itu, pembicara atau penyampai informasi dapat memberikan apresiasi sebagai bentuk umpan balik terhadap respon pendengar.

Dengan demikian, perasaan diperhatikan dapat menjadi kunci munculnya persepsi “citra baik” di tengah masyarakat. Cara mendengarkan dan memberikan perhatian terhadap berbagai permasalahan yang dirasakan warga dapat menjadi daya tarik tersendiri.

Persepsi ini menjadi modal penting bagi para calon legislatif atau calon presiden untuk diterima dan meraih dukungan dari masyarakat. Namun, dilema muncul ketika para kandidat hanya fokus pada citra baik atau pandangan positif.

Jika ada lawan politik atau individu yang memiliki pandangan berbeda memberikan penilaian negatif, hal tersebut dianggap sebagai penghinaan dan direspons dengan kemarahan.

Artinya, masih banyak hal yang perlu disiapkan dengan serius sebelum terjun ke dalam dunia politik. Salah satunya adalah kesiapan ilmu atau wawasan yang membantu seseorang memiliki gagasan dan ide-ide yang relevan untuk masa depan.

Pengalaman yang memadai juga diperlukan agar memiliki dasar dan tolak ukur dalam merumuskan serta mengambil langkah konkret dalam mengatasi berbagai masalah bangsa dan negara.

Persiapan terakhir, tapi sangat menentukan, adalah memiliki mental yang kuat agar tidak mudah terpengaruh dan rapuh dalam menghadapi perbedaan pendapat.

Mengingat pesan bijak dari orangtua di kampung, “Jika pernyataan itu tidak benar, mengapa harus marah? Itu bukan kenyataan. Jika pernyataan itu benar, mengapa juga harus marah? Faktanya memang benar”.

Nasehat singkat yang cukup nyelekit namun penuh hikmah ini mengajarkan kita untuk lebih dewasa dalam menghadapi setiap perbedaan dan mengatasi dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang.[]

*) Adam Sukiman, penulis edukator Masyarakat Muda Jakarta dan asisten peneliti Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

Pos terkait