Politik Uang dan Netralitas ASN Jadi Sorotan dalam Evaluasi Pemilu Nasional

NN Newsroom

Sabtu, 13 September 2025

Foto: Dok. DKPP

NASIONAL.NEWS – Persoalan netralitas birokrasi masih menjadi masalah besar dalam pelaksanaan pemilu nasional maupun pilkada serentak di Indonesia.

Berdasarkan data Bawaslu RI hingga 3 September 2025, tercatat 1.929 kasus pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada pemilu nasional 2024, serta 433 kasus pada pilkada serentak 2024.

Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan, yakni 400 hingga 500 persen lebih tinggi dibanding dua pemilu sebelumnya yang hanya mencatat 412 kasus.

“Pelanggaran netralitas ASN ini pasti muncul di setiap pemilu dan pilkada, ini salah satu alasan pemilu kita belum baik. Pelanggaran netralitas di pemilu kemarin itu sangat luar biasa,” ujar Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito.

Hal itu dikemukakan Heddy Lugito dalam Seminar Nasional bertema Integritas Penyelenggara Pemilu dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia di Auditorium FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat (12/9/2025).

Lima Syarat Utama Pemilu Ideal

Heddy menegaskan, pemilu nasional dan pilkada serentak 2024 belum bisa dikategorikan “baik”.

Menurutnya, ada lima syarat utama yang harus dipenuhi agar pemilu dapat disebut ideal.

“Syarat itu meliputi regulasi yang baik, penyelenggara yang mandiri, berintegritas, dan kredibel, peserta pemilu yang taat aturan, pemilih yang cerdas dan partisipatif, serta birokrasi yang netral,” terangnya.

Ia menyebutkan, selama syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, demokrasi Indonesia akan tetap menghadapi persoalan serius.

Pemilu 2024, misalnya, masih diwarnai praktik politik uang, birokrasi yang tidak netral, pejabat bermasalah, tumpang tindih regulasi, hingga pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Politik Uang Masih Mengakar

Dalam paparannya, Heddy juga menyoroti praktik politik uang yang mengakar di hampir seluruh tahapan pemilu.

“Angka partisipasi pemilih pemilu kemarin memang tinggi, tapi faktanya pemilih kita belum cerdas dan permisif dengan politik uang. Masih menggadaikan, menjual haknya untuk 100 – 200 ribu, beras, maupun minyak dan mie instan,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa budaya permisif terhadap politik uang tidak bisa dilepaskan dari pandangan publik.

Mengutip riset tahun 2019, Heddy mengatakan, sebanyak 48% masyarakat menganggap politik uang adalah hal biasa.

Kondisi tersebut semakin memperburuk kualitas demokrasi karena perilaku pemilih yang transaksional memberi ruang bagi politisi untuk melanggengkan praktik tersebut.

Aduan Pelanggaran Kode Etik

Selain persoalan pemilih dan birokrasi, Heddy juga menyinggung masalah yang dihadapi penyelenggara pemilu.

Dia menyenbutkan, sepanjang 2024, DKPP menerima 790 pengaduan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Sementara itu, hingga Agustus 2025, jumlah pengaduan yang masuk telah mencapai 193.

Meski demikian, Heddy mengakui bahwa secara prosedural, pemilu 2024 berlangsung aman dan tidak menimbulkan benturan sosial besar.

“Tapi kita harus berani jujur bahwa pemilu yang lalu terjadi penurunan kualitas demokrasi,” tutupnya.

Seminar nasional ini terselenggara atas kerja sama antara DKPP, Ikatan Alumni FISIP Universitas Diponegoro, serta FISIP Universitas Diponegoro, dengan fokus pada refleksi integritas penyelenggara pemilu dan arah masa depan demokrasi Indonesia.

TERKAIT LAINNYA