Pada Selasa (25/3/2025), seorang mahasiswi doktoral asal Turki, Rumeysa Ozturk, ditangkap oleh otoritas imigrasi Amerika Serikat di Massachusetts. Penangkapan ini terjadi atas perintah langsung dari pemerintahan Donald Trump, yang menuduhnya terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina.
Visa Ozturk dicabut, dan ia kini menghadapi ancaman deportasi. Kejadian ini memicu gelombang kritik global, terutama karena AS tampak menerapkan standar ganda: menghukum individu yang menyuarakan keadilan untuk Palestina, sambil terus mendukung Israel meski Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Kronologi Penangkapan dan Kebijakan Trump
Rumeysa Ozturk, mahasiswi Universitas Tufts, ditangkap saat hendak menghadiri acara berbuka puasa bersama teman-temannya. Video penangkapan yang viral menunjukkan agen federal membawanya ke pusat penahanan di Somerville.
Menurut pengacaranya, Mahsa Khanbabai, penangkapan ini terkait keikutsertaannya dalam aksi damai mendukung Palestina beberapa waktu lalu. Trump, yang baru saja dilantik kembali, telah berjanji untuk mendeportasi pengunjuk rasa pro-Palestina, dengan alasan mereka mendukung “terorisme” dan mengancam keamanan nasional AS. Kebijakan ini mencerminkan sikap kerasnya terhadap kritik atas Israel, sekutu utama AS di Timur Tengah.
Namun, kebijakan ini menuai pertanyaan: mengapa AS begitu cepat menghukum individu seperti Ozturk yang hanya menggunakan hak kebebasan berpendapat—nilai yang diklaim AS junjung tinggi—sementara tetap membela Israel meski bukti pelanggaran kemanusiaan di Gaza semakin menggunung? Standar ganda ini bukanlah hal baru, tetapi kasus Ozturk menjadi simbol nyata dari kontradiksi dalam diplomasi Amerika.
Hukum Pengunjuk Rasa, Lindungi Pelaku Genosida
Sejak konflik Gaza kembali memanas pada Oktober 2023, Israel telah membunuh lebih dari 48.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut data PBB. Serangan udara dan blokade kemanusiaan telah menghancurkan 75% wilayah Gaza, memicu tuduhan genosida dari berbagai pihak.
ICC, pada Februari 2025, mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant, menyatakan ada “bukti kuat” bahwa keduanya bertanggung jawab atas kejahatan perang, termasuk pembunuhan massal dan kelaparan sistematis terhadap warga sipil.
Respons AS terhadap putusan ICC sangat berbeda dibandingkan sikapnya terhadap Ozturk. Alih-alih mendukung penyelidikan ICC, Trump malah menandatangani sanksi terhadap pengadilan tersebut pada 7 Februari 2025, menyebutnya “bias” dan “anti-Israel.”
Gedung Putih juga terus memberikan bantuan militer senilai miliaran dolar kepada Israel, meski laporan independen menunjukkan penggunaan senjata AS dalam serangan terhadap warga sipil Gaza. Di sisi lain, mahasiswi seperti Ozturk, yang hanya menyuarakan solidaritas dengan korban, justru dihukum berat. Ini menunjukkan bahwa AS lebih memprioritaskan kepentingan geopolitik daripada keadilan global.
Kebebasan Berpendapat versus Kepentingan Politik
Penangkapan Ozturk menyingkap ironi dalam narasi AS tentang kebebasan berpendapat. Konstitusi AS, melalui Amandemen Pertama, menjamin hak warga untuk berekspresi, termasuk dalam bentuk protes damai. Namun, ketika ekspresi itu menyangkut kritik terhadap Israel, hak tersebut seolah lenyap.
Kelompok advokasi seperti FIRE (Foundation for Individual Rights and Expression) memperingatkan bahwa kebijakan Trump dapat menjadi preseden berbahaya, di mana visa pelajar digunakan sebagai alat untuk membungkam suara yang tidak sejalan dengan pemerintah.
Sikap AS ini juga merusak kredibilitasnya di mata dunia. Negara-negara seperti Turki dan Venezuela telah menyuarakan kecaman, menyerukan solidaritas internasional untuk menghentikan apa yang mereka sebut “genosida” di Gaza.
Kedutaan Turki di Washington bahkan telah turun tangan, menuntut penjelasan dari AS soal penangkapan Ozturk dan menawarkan bantuan hukum untuk melindungi warganya. Sementara itu, AS tampak semakin terisolasi karena terus melindungi Israel dari akuntabilitas hukum.
Menuju Solusi yang Adil
Kasus ini menegaskan perlunya dunia internasional menekan AS untuk konsisten dalam menegakkan hukum dan HAM. Jika AS serius mempromosikan demokrasi, ia harus menghormati hak pengunjuk rasa seperti Ozturk, sekaligus mendukung upaya ICC menyeret pelaku kejahatan perang ke pengadilan—tanpa pandang bulu. Standar ganda hanya akan memperdalam ketidakpercayaan global terhadap kepemimpinan AS, terutama di tengah krisis kemanusiaan seperti di Gaza.
Penangkapan Rumeysa Ozturk bukan sekadar isu individu, melainkan cerminan dari kebijakan AS yang timpang. Dunia kini menanti, apakah Amerika akan terus membela sekutunya dengan mengorbankan prinsip yang ia junjung, atau akhirnya memilih jalan keadilan yang sejati.[]