Problematika Jeda Pemilu, Begini Analisis Pakar Hukum Soal Putusan MK Tentang UU Pemilu

NN Newsroom

Sabtu, 5 Juli 2025

Dr Asrullah, SH, MH (Foto: Dok. Nasional.news)

NASIONAL.NEWS — Pakar Hukum Tata Negara Asrullah menilai putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan kompleksitas dalam menjaga keseimbangan antara inovasi konstitusional dan kepatuhan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.

Meskipun bertujuan untuk mengatur pelaksanaan pemilu serentak yang lebih terorganisir, Asrullah melihat, syarat transisi 2 hingga 2,5 tahun telah menciptakan paradoks konstitusional yang bertentangan dengan Pasal 22E UUD NRI 1945.

Asrullah merespon polemik soal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) yang telah mengeluarkan putusan terkait pengujian kumulatif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Putusan ini mengaddresat Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Putusan ini menghasilkan panduan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan jeda waktu tertentu, namun memunculkan problematika konstitusional yang kompleks.

Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pemungutan suara untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak, dan setelahnya, dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau Presiden dan Wakil Presiden, diselenggarakan pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Dengan demikian, MK memandatkan adanya masa transisi antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan rentang waktu tersebut.

Namun, menurut Asrullah, ketentuan ini justru menjadi sumber problematika. Bukan karena pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, melainkan karena adanya syarat batas waktu transisi yang ditetapkan MK, yakni paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah Pemilu Nasional.

“Ketentuan ini menimbulkan cacat konstitusional yang signifikan karena bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945, khususnya Pasal 22E ayat (1), (2), dan (3),” kata Asrullah dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/7/2025).

Analisis Konstitusionalitas Putusan MK

Pasal 22E UUD NRI 1945 mengatur secara eksplisit dan limitatif mengenai pelaksanaan pemilihan umum. Ayat (1) menyatakan, “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Ayat (2) menyebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.

Sementara itu, ayat (3) menegaskan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Ketentuan ini mencerminkan orkestrasi konstitusional yang jelas dan tidak membuka ruang untuk penafsiran yang menyimpang.

“Berdasarkan tafsir gramatikal, sistematis, dan historis yang sering digunakan MK dalam putusannya, putusan ini justru menciptakan paradoks dan penyimpangan terhadap konstitusionalisme pemilu,” kata Asrullah.

Pertama, dia menjelaskan, Pasal 22E ayat (1) menegaskan bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara langsung. Jika terdapat jeda waktu 2 tahun hingga 2 tahun 6 bulan sebagai fase transisional, maka masa jabatan anggota DPRD akan melampaui periode 5 tahun yang diamanatkan, sehingga bertentangan dengan ketentuan konstitusi.

Kedua, ayat (2) menegaskan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPRD juga harus dilakukan secara langsung dengan periodisasi 5 tahun, yang berarti masa jabatan DPRD dibatasi secara absolut selama 5 tahun sejak pelantikan.

Ketiga, ayat (3) menegaskan bahwa pengisian jabatan anggota DPR dan DPRD dilakukan melalui partai politik sebagai elected public official, bukan selected official. Prinsip elected official ini menutup kemungkinan perpanjangan masa jabatan melalui mekanisme penunjukan (selected).

Dengan demikian, terangmya, syarat transisi yang ditetapkan MK dalam putusan ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945.

“Secara historis, ketentuan ini juga bertentangan dengan semangat reformasi konstitusional yang menekankan pengisian jabatan publik melalui pemilu yang demokratis, bukan melalui mekanisme yang dapat melemahkan legitimasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan,” jelasnya.

Problematika Ketatanegaraan

Putusan MK ini memunculkan masalah ketatanegaraan yang serius, khususnya terkait pengisian masa jabatan anggota DPRD selama masa jeda 2 hingga 2,5 tahun.

UUD NRI 1945 tidak membuka ruang untuk perpanjangan masa jabatan di luar periode 5 tahun, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.

Untuk mengatasi hal ini, Asrullah berpandangan, MK seharusnya memberikan Constitutional Compliance, yaitu penjelasan resmi kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) guna memastikan tidak terjadi penyimpangan terhadap UUD NRI 1945.

Selain itu, diperlukan Constitutional Engineering dalam revisi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk menjaga konsistensi terhadap konstitusi serta mempertahankan integritas MK sebagai lembaga peradilan konstitusional yang kredibel.

Peran MK sebagai Negative atau Positive Legislator

Lebih jauh, Asrullah membeberkan, bahwa secara historis, MK didesain sebagai negative legislator, yang hanya berwenang membatalkan ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan UUD, tanpa menciptakan norma baru.

Namun, dalam dinamika peradilan konstitusional modern, MK di Indonesia dan berbagai negara lain telah mengadopsi judicial activism, yang memungkinkan MK untuk membuat norma baru atau panduan konstitusional.

Contoh klasik adalah kasus Marbury v. Madison di Amerika Serikat, yang menghasilkan landmark decision melalui pendekatan judicial activism.

“Meski demikian, norma baru yang dibuat MK tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD, sebagaimana terjadi dalam putusan ini,” tegas Senior Counsel Law Firm Rudal and Parthner ini.

Asrullah menambahkan, MK sebagai The Guardian and Protector of The Constitution seharusnya menggunakan kebijaksanaan konstitusional (constitutional wisdom) dalam pengambilan putusan.

Di sisi lain, dengan sifat putusan yang final dan binding, MK tidak boleh menciptakan dilema bagi pemangku kepentingan negara, apalagi jika putusan tersebut secara nyata menyimpang dari UUD NRI 1945.

“MK perlu mematuhi asas hukum Lex Clara Non Sunt Interpretanda, yang berarti jika suatu ketentuan hukum sudah jelas, tidak perlu dilakukan penafsiran lebih lanjut, karena hal tersebut justru dapat menciptakan ketidakpastian hukum baru,” pungkasnya.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version