Pulau Rempang dan Pengembang

0
1775
Jembatan Tuanku Tambusai Pulau Galang

KASUS Rempang masih jadi pembicaraan di ruang publik. Terbaru Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, ikut memberikan opininya.

“Selama saya yang menangani banyak pembebasan tanah di Pulau Rempang tidak ada masalah,” katanya di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Selasa (19/9/23).

“Ya Rempang itu mungkin ya sekarang lagi mau slow down. Saya pikir mungkin approach atau pendekatannya kemarin belum pas,” imbuh pria yang juga kerap disapa opung itu.

Ungkapan itu menandakan bahwa ada potensi tergesa-gesa dari pengembang. Sayangnya kejadian bentrok aparat dengan warga telah terjadi. Dalam hal ini publik pun menyoal bagaimana sikap pemerintah, mengapa bisa seperti itu.

Belakangan media asing juga ikut memberi sorotan terhadap kasus Pulau Rempang itu.

Media seperti Time, telah mengabarkan bahwa rakyat di Pulau Rempang menolak masuknya investasi pembuatan pabrik yang dilakukan pihak produsen pasir kuarsa asal China, Xinyi Group. Pasalnya jika tidak diprotes, maka 7.5000 warga harus rela direlokasi.

Historis dan Kemanusiaan

Mengapa warga Pulau Rempang menolak direlokasi? Ini pertanyaan penting.

Pertama, bisa dimaklumi secara jamak bahwa kampung itu memang punya nilai historis bagi masyarakat Melayu yang telah lama tinggal.

Kedua, ketika ada upaya membangun Pulau Rempang, kemudian penduduk yang telah lama ada direlokasi, muncul asumsi bahwa untuk siapa tanah ini sebenarnya, bagi rakyat atau konglomerat. Ini pertanyaan yang wajar.

“Situasi di Rempang adalah bagian dari praktik umum yang memandang penduduk lokal sebagai penghambat pembangunan. Ini adalah cara yang secara struktural penuh kekerasan dalam mengelola masyarakat,” urai dosen studi politik dan keamanan di Murdoch University di Perth, Ian Murdoch, seperti dilansir CNBC Indonesia, Selasa.

Jadi, membangun dengan menggusur (bahasa halusnya merelokasi) rakyat sendiri sebenarnya suatu kebijakan yang tidak menghargai sisi kemanusiaan penduduk Pulau Rempang.

Dengan demikian kita juga bisa mengajukan pertanyaan, apakah benar pendapat Luhut, bahwa ini sebatas soal salah pendekatan?

Jalan Tengah

Menyikapi masalah itu jalan tengah yang bisa kita ambil adalah pemerintah memberikan hak rakyat hidup dan mempertahankan hidup.

Soal pembangunan dengan nilai investasi yang mencapai Rp. 300 triliun itu hendaknya tidak menjadikan nilai manusia menjadi “murah.”

Lakukan dialog, bangun Pulau Rempang dengan baik, tetapi tetap menghormati sisi kemanusiaan warga Rempang. Bukankah kita punya dasar yang mengatakan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”

Dalam konteks ini, kita tidak perlu banyak mengeluarkan argumentasi untuk berdebat. Kembalikan saja pada Pancasila lalu jalankan.

Setiap rakyat Indonesia, dimanapun berada, ingin daerahnya menjadi maju dan makmur. Akan tetapi apa arti semua itu jika kemudian mereka yang menjadi penduduk lama atau asli harus tersingkir?

Apakah kita masih kurang belajar dari daerah yang kaya tambang dan rakyat sekitarnya hidup dalam ketimpangan hidup luar biasa?

EDITORIAL NASIONALNEWS