Rakyat atau Nikmat, Manakah Prioritas Politisi dalam Berpolitik?

politisi

SERING perkembangan teknologi informasi, masyarakat semakin mudah melihat apapun dengan banyak sumber rujukan, sehingga bisa dengan mudah melakukan perbandingan.

Semakin seseorang menerima rujukan yang beragam, semakin terlatih untuk melakukan analisis, setidaknya tidak mudah menelan mentah satu informasi.

Bacaan Lainnya

Karena dalam membandingkan sebuah fakta, seseorang perlu melakukan analisa terhadap informasi secara mendalam. Orang akan terbiasa melihat, sejauh mana kualitas sumber data, fakta atau informasi,kemudian adakah konsistensi dan seterusnya.

Dahulu, mungkin orang yang menguasai media akan menguasai dunia. Tetapi sekarang, siapa yang tidak jujur dalam bermedia, akan segera menerima akibatnya.

Boleh jadi era pencitraan, telah menemui ajal seiring dengan tumbuhnya budaya baru masyarakat bermedia sosial.

Sekarang caleg atau bahkan capres, boleh saja berpidato berapi-api, lari ke sana kemari pagi dan sore, atau bertemu orang banyak di lapangan.

Tetapi, jika publik melihat yang Anda lakukan tidak ada, jangan pernah berharap lebih. Sebab masyarakat mulai tersentuh media sosial, yang di dalamnya juga ada konten-konten (edukasi) politik.

Sebuah riset menyebutkan bahwa pesan politik di media sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan literasi politik, utamanya generasi milenial dengan tingkat pengaruh sebesar 77,5%.

Ketulusan

Dalam kondisi sebagian masyarakat telah melek informasi bahkan mungkin politik, para politisi tidak bisa banyak berulah seperti dahulu.

Jika Anda ingin maju, menawarkan perubahan dengan janji-janji manis saat kampanye, maka langkah utama setelah semua itu dipaparkan, Anda harus bekerja keras mewujudkannya.

Masyarakat akan mudah melihat dengan bukti, ke depan, mana politisi yang mencintai rakyat atau mencintai nikmat dengan duduk sebagai pejabat.

Artinya, jangan lagi berpolitik dengan prinsip dagang sapi. Harus ada ideologi atau benar-benar komitmen terhadap moral.

Tanpa moral yang jadi landasan pikir dan gerak, seorang politisi potensial akan kehilangan arah, sehingga mungkin akan jadi sosok terkutuk pada zamannya dan terlaknat dalam sejarah.

Menuju Keemasan

Sebagian politisi mungkin telah menikmati atmosfer reformasi dengan gaya politik yang penuh pupur pencitraan. Tetapi ingat, tak ada masa yang bertahan lama. Semua berlangsung serba cepat.

Dalam kata yang lain, jika tidak berubah, mengubah diri, atau bahkan bertaubat dari cara berpolitik yang selama ini banyak mengandalkan cara sembunyi-sembunyi, lempar janji lalu men-tuli-kan nurani pribadi, siap-siap untuk ditelan bumi.

Sekarang, pastikan diri sendiri, apakah maju dalam Pemilu 2024 karena panggilan nurani atau masih memandang esok seperti hari ini. Sebab, 22 tahun lagi Indonesia akan masuk masa 1 abad kemerdekaan. Semua orang ingin benar-benar merasakan seperti apa merdeka yang sesungguhnya pada masa itu.

Pastikan dan sadarlah, rakyat semakin dewasa. Mereka tidak lagi tertarik pada politisi dengan gaya “penjual obat.” Bilang manjur, berkata hebat, namun nol dalam realita. Orang yang pernah tertipu itu tidak akan pernah melupakan orang yang menipu.*

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

Pos terkait