TAK terasa, sudah 8 tahun aku di Depok. Jika dihitung dari SMP hingga kuliah, 16 tahun. Waktu yang lama. Penuh kesan. Ada suka duka. Cinta dan luka. Rindu dan nestapa. Berhimpun dalam selaksa makna.
Ya, itulah hidup. Betapa pun panjang dan lama, tetap terasa singkat. Aku jadi teringat dengan Dmitry Itskov, miliarder Rusia, yang ingin hidup selamanya.
Pun dengan sosok tengil John Sperling. Bos tajir Apollo Group yang jatuh bangun mati matian meneliti kloning therapeutic demi untuk menghindari kematian.
Teranyar, Jeff Bezos sedang sibuk ngerjain mega proyek untuk hentikan penuaan agar bisa hidup selamanya.
Orang terkaya di muka bumi versi Forbes yang juga bos Amazon ini nginvest gede gedean di Altos Labs untuk usahanya itu. Demi obsesi hidup selamanya.
Absurd memang, tapi yah, sekali lagi, itulah hidup. Memang sudah fitrah bawaan manusia takut mati dan ingin hidup selamanya. Bagaimanapun caranya.
Tapi, sayangnya, tak ada diantara kita yang bisa mengendalikan mati selain Tuhan. Tampaknya, Itskov, Sperling, dan Bezos lupa dengan yang satu ini. Dan, jangan jangan juga kita.
Jangankan mati. Berpisah sejenak saja seringkali terasa tak mudah. Apalagi kebersamaan yang telah lama terbonsai dan menjadi semacam labirin dengan segala kerumitan dan sensasinya.
Akupun merasakan itu. Ada rasa berat beranjak pergi. Ada sekelumit pikir dengan logika dan berbagai perhitungan matematisnya. Semua menyeruak. Ada ragu yang mulai muncul. Tapi logika Ilahiyah mengeliminir semua.
Hidup adalah perjuangan, dan tak ada perjuangan yang mudah. Pesan Ust Nashirul Haq teguhkan hati bahwa perjuangan jadi indah dan bahagia dengan 3M (Musyawarah, Mujahadah, Munajat). Meminjam istilah Ust Shaleh Utsman, inilah mekanisme komunikasi vertikal transendental.
Pola keterpimpinan semacam ini pula menjadi nilai yang mewarnai semua gerakan dakwah dan pengabdian di jalan Allah SWT. Sehingga dipindahtugas kapan dan di mana saja adalah hal biasa. Asal jangan “terpindah”, atau memindahkan diri.
Betul kata Ust Fathun Qarib, bahwa bersama itu biasa, yang luar biasa adalah berjamaah. Jika “bersama” diidentifikasi sebagai kerumunan belaka, maka jamaah adalah himpunan barisan kekuatan yang meraksasa.
Indahnya berjamaah tidak saja soal fastabiqul khairat, tawasaubil haq, dan tawasaubil sabr, tetapi juga tentang kerja kerja besar yang dipikul secara beriring dan begandengan tangan.
Akupun berusaha menjadi bagian dari rangkaian panjang dari perlangkahan ini. Aku lantas teringat pula dengan pesan KH Abdurrahman Muhammad bahwa perkaderan terbaik adalah penugasan.
Tidak ada penugasan yang ringan. Bahkan penuh dengan tantangan dan rintangan. Walakin, ternyata kita mampu menghadapi semua dengan baik. Bukan karena kita hebat tapi karena Allah SWT menolong kita.
Sejak beberapa hari ini akupun masih berkemas-kemas menuju tempat tugas. Barang keperluan utama dan pecah belah lebih dulu dikirim menggunakan armada angkutan logistik Dakota.
Menuju Bengkulu. Tempat tugas yang baru. Bumi Raflesia. Indah penuh warna. Hari ini, Sabtu, aku langsung sekaligus memboyong istri dan anak-anak.
Perjalanan hidup yang indah dan menawan adalah yang langkah langkahnya adalah dalam rangka mengabdi pada Ilahi Robbi.
Pesan itu melekat yang sering disampaikan guru guruku. Wejangan para mentorku. Sehingga, dimanapun berada sama saja.
Sampai jumpa dan selamat berjuang. Perjalanan dakwah ini tak akan terhenti sampai kelak Allah SWT hinggakan kita pada batas usia kita masing masing.
Mohon doa dari sahabat sahabat, kolega, dan teman teman sejawat saya semua. Agar kami selalu diberikan kesehatan, kelancaran, dan kemudahan. Begitupun antum semua, selalu dalam lindungan Allah SWT, Aamiin.
Irwan Nelson, penulis adalah pekerja sosial dan kemanusiaan