ALLAH TA’ALA menciptakan manusia dari satu substansi yang sama: segumpal darah (min ‘alaq). Jadi, Tuhan tidak pernah memandang warna kulit, tempat lahir, atau status ekonomi.
Namun, anehnya, dalam realitas sosial yang kompleks, seringkali terjadi klaim atas superioritas yang tidak berdasar. Mengapa bisa demikian?
Hal itu terjadi karena manusia terjerembab pada cara berpikir inderawi, rasionalisme, atau pun empirisme dalam konteks humaniora.
Akibat dari cara berpikir itu, yang kulit putih merasa lebih mulia dari yang kulit hitam. Yang punya kekuatan ekonomi merasa lebih berhak daripada yang miskin.
Padahal, substansi manusia selain dari penciptaan adalah perbuatan. Biar kulit putih kalau jahat, dia tidak pernah mulia. Biar miskin kalau bijaksana, banyak amal sholeh, ia lebih baik dalam pandangan Tuhan.
Tetapi dalam alam berpikir inderawi, rasional dan empiris, seringkali Tuhan dianggap tidak ada. Akibatnya? Mereka bertindak sesuka hati, melegitimasi dirinya sebagai yang ini dan itu. Padahal substansinya satu, ia telah melakukan kejahatan.
Refleksi
Pertanyaan mendasar muncul: Apakah tindakan merendahkan, menghina, atau melukai perasaan orang lain sesuai dengan ajaran agama atau nilai kemanusiaan?
Tindakan semacam itu justru menodai esensi kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Tetapi apakah kaum yang lebih percaya indera-nya daripada ajaran Islam mau memahami?
Mereka yang arogan, malah melawan. Dan, membuat aturan sendiri.
Mereka bahagia? Baca saja sejarah, bagaimana deretan bukti orang yang melawan ajaran Islam hidup dalam kehancuran jiwa.
Panggilan untuk Bijak dan Empati
Kita semua dituntut untuk memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan. Dalam Islam semua itu untuk saling mengenal (li ta’arafu).
Menilai seseorang berdasarkan latar belakangnya adalah tindakan yang dangkal dan tidak adil.
Sebagai manusia, kita harus mengutamakan empati, menghormati, dan menghargai setiap individu tanpa terkecuali.
Oleh karena itu kita perlu belajar bahwa saat Eropa melakukan imperialisme dengan menjajah bangsa-bangsa di Asia, mereka tidak sedang bahagia. Mereka buta hati dan tak tahu diri.
Melalui refleksi ini, mari kita jauhkan diri dari sikap merendahkan dan menindas.
Marilah kita memperjuangkan kedamaian, kesetaraan, dan keadilan bagi semua, sebagaimana yang diajarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang murni dan oleh keindahan ajaran Islam.
Islam memandang manusia dengan timbangan takwa. Bukan atribut sosial apalagi sebatas dompet tipis atau tebal.*