
RAMADHAN telah berlalu. Bulan yang penuh dengan latihan pengendalian diri, kepekaan sosial, dan kedekatan spiritual itu kini hanya tinggal kenangan manis dalam hati mereka yang menjalani dengan sungguh-sungguh.
Namun, kenyataannya, begitu gema takbir Idulfitri mereda, banyak dari kita seperti kehilangan ritme. Semangat berbagi yang membuncah sepanjang Ramadhan kembali meredup, seperti hanya berlaku musiman. Padahal, jika Ramadhan adalah sekolah ruhani, maka Syawal adalah ruang praktiknya. Di sinilah seharusnya karakter mulia yang terbentuk selama Ramadhan terus dihidupkan dan dirawat.
Sayangnya, tak sedikit dari kita yang kembali ke pola hidup individualistis. Berbagi hanya menjadi kewajiban musiman, bukan karakter yang mengakar. Padahal, karakter sejati seorang muslim bukan hanya diukur dari ritual ibadah, tetapi bagaimana ia terus memberi manfaat bagi sesama setelah Ramadhan usai. Maka, di sinilah peran penting Syawal: menjadi jembatan antara latihan spiritual Ramadhan dan penguatan karakter sosial yang lebih konkret dan berkelanjutan.
Syawal bulan Transparansi
Syawal juga menjadi momentum yang sangat relevan bagi lembaga zakat untuk membangun kepercayaan dan loyalitas publik. Bulan ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan wajah akuntabilitas. Laporan penggunaan zakat fitrah dan zakat maal, dalam bentuk infografis yang menarik dan mudah dipahami, bukan sekadar formalitas administratif. Itu adalah bentuk penghormatan kepada para muzakki yang telah mempercayakan amanahnya. Transparansi bukan hanya soal angka, tetapi tentang meneguhkan bahwa lembaga zakat memang benar-benar hadir untuk umat. Dan bagi para donatur, laporan ini menjadi cermin bahwa kebaikan mereka telah sampai dan berdampak.
Transparansi ini, jika disampaikan dengan cara yang tepat, bukan hanya menyampaikan data, tapi juga menyampaikan cerita. Cerita tentang mustahik yang terbantu, desa yang berubah, atau anak-anak yang kembali tersenyum karena pendidikan. Maka, sangat penting bagi lembaga zakat untuk menjadikan Syawal sebagai bulan publikasi inspirasi. Karena saat umat melihat hasil nyata dari zakat mereka, akan lahir keyakinan bahwa berbagi itu bukan hanya soal kewajiban, tetapi kepercayaan dan kehormatan.
Partisipasi menjadi karakter berbagi
Lalu datanglah Dzulhijjah, bulan di mana panggilan berqurban kembali menggema. Momentum ini seakan menegaskan satu hal penting, bahwa semangat berbagi bukan sekadar ritual tahunan, tapi karakter yang dibentuk secara konsisten dari satu bulan ke bulan berikutnya. Ramadhan mengajarkan empati, Syawal mempraktikkannya, dan Iduladha mengabadikannya dalam bentuk pengorbanan. Di sinilah kita memahami bahwa berqurban bukan hanya soal menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih ego dan rasa cukup diri. Tentang rela berbagi, bahkan dalam kondisi sempit sekalipun.
Menjelang Iduladha, kita diingatkan kembali bahwa kebaikan bukanlah milik orang kaya. Siapapun yang memiliki niat, tekad, dan cinta untuk sesama, bisa menjadi pelaku perubahan. Lembaga zakat menjadi jembatan antara niat baik itu dengan realitas lapangan. Maka, sudah saatnya kita mengubah cara pandang bahwa qurban bukan sekadar “nitip sapi” atau “transfer kambing”, tapi tentang partisipasi aktif—baik secara finansial, tenaga, bahkan dukungan doa dan penyebaran pesan-pesan kebaikan.
Lembaga zakat hari ini menawarkan banyak ruang partisipasi. Ada yang bisa berkontribusi sebagai donatur utama, ada pula yang bisa membantu mengemas daging, menjadi relawan distribusi, hingga menjadi penyampai cerita-cerita inspiratif dari penerima manfaat. Setiap peran punya nilai. Setiap partisipasi, sekecil apapun, adalah penguat ekosistem kebaikan yang terus tumbuh dan berkembang.
Dan inilah panggilan bagi kita semua, mari jadikan momen Syawal hingga Iduladha sebagai rentang suci untuk menegaskan jati diri. Bahwa kita tidak hanya beragama dengan ibadah, tetapi juga dengan kepedulian. Bahwa kita bukan hanya beriman secara vertikal, tetapi juga bersaudara secara horizontal.
Sehingga, karakter berbagi bukanlah produk instan. Ia tumbuh dari pengalaman spiritual yang konsisten, dari interaksi dengan sesama yang tulus, dan dari kesadaran bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita punya, tapi seberapa banyak yang bisa kita berikan. Qurban menjadi simbol sempurna dari cinta tanpa syarat. Maka, marilah kita sambut bulan Dzulhijjah dengan semangat partisipasi. Jangan hanya menjadi penyaksi kebaikan, jadilah bagian dari kebaikan itu sendiri. Karena pada akhirnya, yang akan abadi bukanlah apa yang kita miliki, tapi apa yang kita bagi.
*) Dr. Eko Muliansyah, SE, MM, penulis adalah Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STAIL) Luqman Al Hakim Surabaya, Jawa Timur & Ketua Bidang V Dewan Pengurus Pusat (DPP) Forum Zakat