AKHIRNYA kita harus Kembali disajikan istilah “puasa dan buka puasa” di tahun politik saat ini. Setelah hampir lima tahun berlalu, terminologi ini kembali muncul ditengah situasi politik yang semakin “memanas”.
Kelihatannya, masih banyak yang belum bisa meninggalkan masa lalu yang kurang baik (move on) secara keseluruhan.
Namun yang disayangkan, istilah ini seringkali digunakan tidak pada tempatnya, sehingga menghasilkan sesuatu yang tidak jelas bahkan blunder.
Kaitannya dengan tahun politik, istilah puasa ini diartikan sebagai proses berjuang yang dilakukan secara bersama-sama dalam rentan waktu yang cukup panjang.
Suka duka dilalui bersama-sama dengan satu tujuan yang sama. Kalau diibaratkan, satu orang kehujanan, semuanya juga ikut merasakan hujan. Begitu pula saat panas, haus, dan lapar. Semuanya merasakan perasaan yang sama.
Tentu harapannya, disaat nanti tiba saatnya menuai hasil atas kerja keras yang dilakukan bersama, itu juga dirasakan oleh semua. Atau diistilahkan “buka puasa” setelah puasa panjang perjuangan yang melelahkan.
Namun dalam proses berpuasa (berjuang) tadi, banyak atau ada segelintir orang yang merasa berat dan tidak sanggup untuk melanjutkan puasa.
Beberapa penyebabnya karena ada godaan lain yang bermunculan dari kanan kiri. Terpaan hujan yang begitu deras, panas terik matahari yang menusuk sampai ketulang, perjalanan menanjak dan menurun. Sehingga sering kali membuat orang tidak sabar untuk sampai dan menikmati sajian buka puasa.
Kira-kira inilah yang seringkali membuat seseorang untuk memilih ‘membatalkan’ puasa disebabkan tidak sanggup dan merasa perjuangan panjang tidak akan menghasilkan.
Yang menarik, ketika sebagian yang lain memilih untuk melanjutkan perjuangan atau berpuasa, saat mereka berhasil mencapai apa yang diimpikan dan menikmati hidangan buka puasa. Tiba-tiba orang-orang yang memilih membatalkan puasa tadi bersuara lantang “dulu kita berjuang bersama, puasa bersama, saat tiba waktu berbuka, tidak ada undangan”. “kita ditinggal begitu saja”.
Inilah yang terus didengungkan ke setiap orang yang ditemui. Merasa dirinya ditinggalkan dan tidak dilibatkan.
Yang lebih parahnya lagi, banyak yang besuara keras, tanpa memahami secara utuh awal dan proses “berpuasa”. Jangankan ikut berpuasa setengah hari, niat berpuasa pun tidak. Tapi justru lebih lantang dalam berbicara. Tiba-tiba muncul Istilah “feedback, support” dan lain-lain.
Disinilah diantara sumber kelemahan kita. Disaat mendapat tawaran untuk melakukan hal baru yang diluar dari rutinitas kita, seketika pikiran dibayang bayangi dengan hal-hal yang memberatkan, mulai dari biaya, waktu, dan tenaga yang harus disiapkan.
Respon seperti ini yang akhirnya membuat seseorang enggan untuk berproses. Mental block sebagai bentuk ketidakyakinan dalam diri yang berasal dari pikiran bawah sadar akan menyulitkan seseorang untuk melangkah maju (progresif) disebabkan pikiran bawah sadar menyabotase segala upaya apapun.
Namun disaat orang-orang yang berjuang dianggap berhasil, barulah kita mulai mendekat. Dan, tak jarang menghamburkan ungkapan-ungkapan yang penuh curiga yang bermuatan negatif.
Menarik yang diungkapkan oleh Sandiaga S. Uno, seorang pengusaha dengan 50.000 karyawan sekaligus politisi Indonesia dalam merumuskan etos yang baik, yang disingkat 4AS: “kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tuntas akan melahirkan kerja ikhlas”.
Menurut Sandiaga, kerja keras menuntut kita untuk fokus, kerja cerdas membutuhkan wawasan pengetahuan yang luas, kerja tuntas jelas membutuhkan konsistensi, dan kerja Ikhlas adalah saat semuanya kita lakukan dengan penuh cinta bukan karena terpaksa.
Artinya, bahwa, segala sesuatu membutuhkan upaya keras dan sungguh-sungguh yang diimbangi dengan pengetahuan yang memadai sehingga dapat menyelesaikan setiap pekerjaan dengan tuntas tanpa perasaan terpaksa dalam menjalaninya.
Singkat kata, sebagai masyarakat yang sadar akan pentingnya integritas dan keadilan dalam sistem politik, kita perlu mengedepankan nilai-nilai moralitas, kesadaran, dan profesionalisme dalam setiap tindakan dan keputusan politik yang kita ambil
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa proses politik berjalan dengan baik dan melayani kepentingan publik secara adil dan merata.[]
*) Adam Sukiman, penulis edukator Masyarakat Muda Jakarta dan asisten peneliti Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)