Warisan Leadership ala Jusuf Kalla yang Relevan Sepanjang Zaman

Adam Sukiman

Sabtu, 31 Mei 2025

Muhammad Jusuf Kalla (Foto: dok. wapresri.go.id)

DALAM dunia bisnis yang kompleks, banyak pemimpin terjebak pada paradigma efisiensi finansial sebagai ukuran utama kesuksesan.

Fokus pada angka, target keuntungan, dan efisiensi biaya sering kali membuat mereka lupa bahwa jantung dari organisasi adalah manusia.

Di tengah kecenderungan itu, sebuah kutipan dari Muhammad Jusuf Kalla (JK) muncul sebagai penyeimbang yang penting:

“Kalau saya punya perusahaan, maka yang pertama saya siapkan adalah CEO terbaik. Baru kemudian kita bicara program. Selanjutnya baru bicara anggaran. Anggaran itu yang ketiga. Anggaran bukan yang pertama,” kata pria yang karib disapa Pak JK ini seperti dikutip dari kanal 20Detik, Senin (9/9/2024).

Kutipan ini tidak sekadar ungkapan motivasional, melainkan refleksi dari filosofi kepemimpinan seorang saudagar, pengusaha nasional, sekaligus negarawan yang telah membuktikan keefektifan pendekatan tersebut dalam skala lokal hingga global.

Jusuf Kalla, yang membesarkan Kalla Group menjadi salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia dan dikenal luas karena kepeduliannya terhadap isu kemanusiaan, menyimpan banyak pelajaran penting bagi siapa pun yang tengah atau akan membangun organisasi.

Orang yang Tepat Fondasi Utama Sebuah Perusahaan

JK secara eksplisit menempatkan manusia—lebih spesifik lagi, pemimpin—sebagai komponen pertama dan utama dalam membangun organisasi.

Dalam dunia manajemen modern, prinsip ini senada dengan filosofi “first who, then what” dari Jim Collins dalam bukunya, Good to Great.

Collins menekankan bahwa perusahaan hebat adalah perusahaan yang diawali oleh rekrutmen orang-orang hebat sebelum menentukan strategi. Dalam konteks ini, JK menegaskan pentingnya memilih CEO yang berkualitas, bukan yang murah secara anggaran.

Mengapa orang terlebih dahulu? Karena strategi terbaik pun akan gagal di tangan yang salah.

Sebaliknya, orang yang tepat akan mampu menavigasi organisasi di tengah ketidakpastian, bahkan dengan sumber daya yang terbatas.

JK tahu betul bahwa dalam bisnis, seperti halnya dalam pemerintahan, integritas, visi, dan kemampuan eksekusi seorang pemimpin jauh lebih menentukan arah perusahaan daripada seberapa besar dana yang dimiliki.

Program sebagai Turunan dari Kepemimpinan

Langkah kedua menurut JK adalah menyusun program. Ini adalah kelanjutan logis dari memilih pemimpin yang tepat.

Program bukan disusun oleh sistem abstrak, melainkan lahir dari pemahaman mendalam seorang pemimpin atas realitas pasar, potensi SDM, dan peluang yang tersedia.

Maka dari itu, jika CEO adalah orang yang tepat, program yang ia rumuskan hampir pasti akan memiliki daya transformasi yang tinggi.

Ini mengandung pelajaran penting bagi banyak pelaku bisnis yang sering kali menyusun program berdasarkan tren atau benchmarking semata, tanpa mengaitkannya dengan visi dan karakter kepemimpinan di dalam organisasi.

JK justru mendorong kita untuk membangun program dari dalam, dari orang-orang yang memimpinnya, bukan dari luar sebagai replikasi strategi orang lain.

Anggaran Hanya Sarana, Bukan Tujuan

Tahapan terakhir menurut JK adalah anggaran. Dalam banyak organisasi, anggaran sering menjadi titik awal sekaligus titik akhir pembicaraan.

Budget ditentukan dulu, lalu manusia dan program disesuaikan. Pola seperti ini kerap berakhir dengan ketidaksesuaian antara sumber daya manusia dan rencana kerja, serta hasil yang tidak maksimal.

JK membalik cara pandang ini secara radikal namun rasional. Anggaran bukanlah penentu, tetapi alat. Bagi JK, anggaran bukan pemicu gerak, melainkan pelumas dari mesin yang telah disiapkan dengan benar: manusia dan program.

Paradigma ini mencerminkan kedalaman pemahaman JK terhadap dinamika organisasi modern, sekaligus membuktikan bahwa pendekatan human-centered bukan hanya lebih etis, tetapi juga lebih efektif.

Warisan Saudagar yang Berpikir Strategis

Sebagai pengusaha asal Bone, Sulawesi Selatan, yang mengembangkan kerajaan bisnis keluarga menjadi kelompok usaha besar yang merambah sektor otomotif, konstruksi, energi, hingga pendidikan, JK adalah contoh nyata dari pemimpin yang tidak terjebak pada sekadar hitung-hitungan laba. Ia memandang manusia sebagai pusat dari pertumbuhan.

JK adalah representasi dari tradisi saudagar Nusantara yang tidak hanya mengedepankan kecerdikan bisnis, tapi juga keluhuran sosial.

JK dikenal dermawan, memelopori berbagai aksi sosial dan perdamaian, baik dalam kapasitas pribadi maupun publik.

Pendekatannya yang mengutamakan manusia menunjukkan bahwa keberhasilan bisnis tidak harus bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Hal ini penting untuk direnungkan oleh para pelaku usaha muda yang tumbuh di era digital, di mana model-model startup sering kali mengedepankan valuasi, burn rate, dan funding rounds—tetapi mengabaikan fondasi utama: kualitas kepemimpinan dan visi jangka panjang.

Manajemen Modern adalah Manajemen yang Humanis

Kutipan Jusuf Kalla yang dikemukakan di awal tulisan ini bukan sekadar urutan teknis tentang membangun organisasi; itu adalah cerminan paradigma kepemimpinan yang menempatkan manusia di atas segalanya.

Pak JK menolak pendekatan yang menempatkan anggaran sebagai titik tolak.

Ia mewariskan pada kita prinsip bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang dimulai dari pemilihan orang-orang yang tepat, karena dari sanalah lahir visi, strategi, dan keberhasilan jangka panjang.

Bagi siapa pun yang ingin sukses membangun bisnis atau organisasi di era modern, pelajaran dari Pak JK ini sangat relevan: investasikan lebih dulu pada manusia. Bukan hanya karena itu adil, tetapi karena itu adalah pilihan yang cerdas.[]

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version