Posisi Indonesia di Tengah Gempuran Tarif Trump

NN Newsroom

Rabu, 9 Juli 2025

Presiden rabowo Subianto saat menghadiri hari pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada Ahad, 6 Juli 2025 (Foto: Dok. BPMI Setpres)

PADA awal Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggemparkan peta perdagangan dunia. Dalam surat resmi yang dikirim ke 14 negara mitra dagang, termasuk Indonesia, Trump mengumumkan kebijakan baru penerapan tarif impor sebesar 32 persen terhadap barang-barang asal Indonesia.

Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari strategi “Liberation Day Tariffs”, sebuah pendekatan unilateral untuk mengurangi defisit dagang dan mempertegas sikap keras terhadap aliansi negara-negara berkembang BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—di mana Indonesia kini menjadi anggota baru.

Langkah Trump ini segera mengundang reaksi dari berbagai penjuru dunia. Negara-negara yang terkena surat tersebut—termasuk Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand—melontarkan keprihatinan dan mengejar jalur negosiasi. Indonesia pun bergerak cepat.

Di tengah gejolak pasar dan diplomasi internasional yang tegang, posisi Indonesia menjadi sangat krusial.

Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota terbaru BRICS, Indonesia menghadapi tekanan besar sekaligus peluang langka untuk tampil sebagai pemimpin kawasan dan aktor global yang berpengaruh.

Guncangan Ekonomi dan Respons Awal

Penerapan tarif 32 persen ini bukan tanpa dampak. Indonesia mencatat defisit dagang sekitar USD 19 miliar dengan Amerika Serikat pada 2024.

Angka itu memang lebih kecil dibandingkan defisit AS dengan China atau Meksiko, namun tetap menjadi sasaran kebijakan tarif karena posisi Indonesia dalam BRICS dan surplus ekspor produk-produk strategis seperti kelapa sawit, tekstil, elektronik, dan barang manufaktur ringan.

Berdasarkan analisa, total beban tarif atas produk Indonesia dapat mencapai 42 persen, mengingat kebijakan Trump menambahkan 10 persen tarif dasar ke semua negara.

Para pelaku industri dalam negeri pun menyoroti potensi kerugian yang signifikan terhadap daya saing ekspor dan risiko pengalihan pasokan ke negara lain yang tidak terdampak tarif.

Dalam hitungan hari setelah surat tarif diterima, pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomasi cepat. Delegasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dijadwalkan bertolak ke Washington untuk melakukan negosiasi intensif. Targetnya jelas: membatalkan atau minimal menunda penerapan tarif sebelum tanggal efektifnya, 1 Agustus 2025.

Dalam dokumen diplomasi yang diajukan ke AS, Indonesia menyusun paket kompensasi yang komprehensif. Isi proposal itu mencakup rencana pembelian barang dari AS senilai USD 34 miliar, termasuk pengadaan 75 unit pesawat Boeing, peningkatan impor gandum, jagung, dan kedelai, serta pengurangan tarif masuk untuk produk pertanian dan energi asal AS.

Nilai tawaran ini melebihi defisit dagang Indonesia–AS saat ini, sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk menyeimbangkan perdagangan bilateral. Upaya ini mencerminkan strategi diplomasi ekonomi Indonesia yang berorientasi pada win-win solution.

Dengan menghadirkan proposal konkret berbasis data, Indonesia berharap meredam ketegangan dan menghindari konsekuensi jangka panjang terhadap ekspor nasional.

Presiden Prabowo sendiri, dalam pertemuan terbatas dengan jajaran kementerian ekonomi, menekankan pentingnya menjaga hubungan bilateral dengan AS sembari memperkuat kemandirian ekonomi nasional dan pengaruh global melalui keanggotaan BRICS.

BRICS dan Panggung Multilateral

Sejak resmi diterima sebagai anggota penuh BRICS dalam KTT Rio de Janeiro awal tahun ini, Indonesia tengah merancang strategi geopolitik baru.

Di forum BRICS, Indonesia diharapkan menjadi jembatan antara Asia Tenggara dan blok negara berkembang global. Namun, masuknya Indonesia ke dalam BRICS juga memperkuat persepsi bahwa negara ini telah berpindah poros dari Barat menuju Selatan Global.

Dalam konteks tarif Trump, posisi Indonesia sebagai anggota BRICS menjadi titik tekanan sekaligus modal tawar. Negara-negara seperti Brasil dan Afrika Selatan juga menghadapi ancaman tarif serupa, meskipun belum sebesar yang diterima Indonesia.

Dalam pertemuan informal antar duta besar BRICS di New York pekan lalu, sejumlah negara menyampaikan dukungan terhadap Indonesia dan mendorong terbentuknya gugatan bersama ke WTO atas tindakan sepihak AS.

Selain itu, ASEAN juga tidak tinggal diam. Dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia mengusulkan penguatan perdagangan intra-kawasan sebagai respons atas gejolak tarif global.

Indonesia menyambut baik usulan ini dan menyarankan pembentukan front kolektif ASEAN untuk menyuarakan penolakan terhadap tarif sepihak di fora internasional.

Jalan Menuju Koalisi Global

Tantangan tarif Trump menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi strategi perdagangan globalnya. Bahkan, jika perlu, Indonesia harus mulai menggagas liansi strategis lintas kawasan, tidak hanya mengandalkan forum seperti BRICS atau ASEAN.

Beberapa opsi lain juga telah dikaji, termasuk memperluas kerja sama RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) sebagai pasar alternatif ekspor, menghidupkan kembali pembicaraan perdagangan bebas dengan Uni Eropa yang sempat tertunda, dan menjajaki mitra dagang baru di Afrika dan Amerika Latin yang saat ini tidak menjadi target tarif AS.

Diversifikasi pasar menjadi kata kunci. RSIS merekomendasikan bahwa Indonesia perlu memperkecil ketergantungan pada AS dengan memperkuat daya saing industri dan memperluas basis konsumen global, terutama dalam sektor pertanian, manufaktur, dan energi hijau.

Pemerintah Indonesia kini berada dalam posisi yang menuntut ketegasan sikap, kecermatan diplomasi, dan keterbukaan strategi.

Dengan menolak menjadi pihak reaktif, Indonesia menunjukkan bahwa negara berkembang pun dapat berperan aktif dalam menata ulang tatanan perdagangan internasional yang lebih adil. Langkah Indonesia bukan sekadar bertahan, tetapi mengatur ritme permainan, baik di meja negosiasi bilateral maupun forum global.

Seiring dengan berlangsungnya negosiasi di Washington, publik internasional menanti langkah-langkah lanjutan Indonesia. Apakah tawaran kompensasi ekonomi cukup untuk membatalkan tarif? Akankah Indonesia menggalang koalisi negara terdampak untuk menghadapi tekanan bersama?

Yang jelas, Indonesia tidak lagi berada di pinggiran peta diplomasi global. Dalam menghadapi tantangan tarif Trump, Indonesia justru tampil sebagai negara dengan kemampuan memengaruhi, merumuskan solusi kolektif, dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya tanpa mengabaikan tanggung jawab global.

Tarif hanyalah ujian. Tapi sikap terhadapnya adalah penentu sejarah.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA