NASIONAL.NEWS — Ribuan driver ojek online (ojol) dari berbagai daerah kembali turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa yang terorganisir di sejumlah titik vital di Jakarta, termasuk Patung Kuda dan kawasan sekitar Istana Negara, hari ini, Selasa (20/5/2025).
Tuntutan mereka tidak main-main yang mencakup transparansi sistem order, pembagian insentif yang lebih adil, hingga pengakuan sebagai pekerja formal dengan perlindungan hukum yang layak.
Diketahui ini bukan kali pertama suara mereka menggema di jalanan, namun yang membedakan aksi kali ini adalah semangat yang makin bulat untuk menagih keberpihakan negara di tengah cengkeraman kapitalisme digital yang kian kuat.
Fenomena demo ojol ini mencerminkan krisis relasi antara negara, rakyat, dan kekuatan korporasi digital. Para driver menuntut keadilan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, tapi juga demi kejelasan masa depan kerja di era platform.
Sementara itu, aplikasi seperti Gojek, Grab, dan Maxim—yang awalnya dipuji karena membuka lapangan kerja alternatif—kini justru dipertanyakan model bisnisnya yang dianggap semakin eksploitatif dan tertutup.
Kapitalisme Digital dan Negara yang Bungkam
Kita hidup di zaman ketika algoritma bisa menentukan nasib seseorang. Sistem skoring dan distribusi order yang dikendalikan sepenuhnya oleh aplikasi, tanpa transparansi dan ruang banding, menjadi persoalan utama.
Para driver hanya bisa menebak-nebak logika sistem yang menentukan apakah mereka akan mendapat banyak order hari ini, atau malah dibekukan akun mereka.
Ironisnya, negara tampak ragu bersikap. Di satu sisi, aplikasi ojol memang berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja informal dan pertumbuhan ekonomi digital.
Menurut data Kementerian Kominfo, lebih dari 4 juta orang kini bergantung pada ekosistem ojol untuk mencari nafkah.
Angka tersebut tentu sangat membantu pemerintah dalam menekan angka pengangguran yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara sendiri.
Namun di sisi lain, negara belum cukup hadir dalam melindungi hak-hak pekerja digital ini dari eksploitasi terselubung.
Negara terkesan gamang, apakah harus tegas melindungi rakyatnya, atau tunduk pada kekuatan korporasi digital yang membawa investasi besar?
Tuntutan Driver Bukan Sekadar Uang
Apa yang dituntut para driver sejatinya bukan semata upah atau insentif.
Mereka menuntut transparansi, perlakuan manusiawi, dan perlindungan hukum—sesuatu yang seharusnya menjadi bagian dari jaminan negara dalam sistem demokrasi.
Salah satu tuntutan penting adalah soal transparansi sistem algoritma dan order.
Driver ingin tahu bagaimana performa mereka dinilai, mengapa insentif mereka menurun, dan atas dasar apa akun mereka bisa ditangguhkan sepihak. Ini adalah soal hak untuk diperlakukan adil dalam sistem kerja yang semakin terotomatisasi.
Tuntutan lain yang mencuat adalah soal legalitas status kerja. Saat ini, driver masih dianggap sebagai mitra, bukan karyawan, sehingga perusahaan bisa lepas tangan atas hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan, asuransi kerja, dan perlindungan hukum. Status ini menjadikan mereka rentan, baik secara ekonomi maupun sosial.
Perlu Kebijakan Berkeadilan
Pemerintah seharusnya tidak membiarkan konflik ini berlarut. Kehadiran negara dibutuhkan untuk menengahi dan menciptakan kerangka kerja yang adil antara perusahaan aplikasi dan para driver.
Sikap semacam ini bukan soal memusuhi inovasi digital, melainkan soal memastikan bahwa inovasi tidak mengorbankan hak asasi manusia dan prinsip keadilan sosial.
Langkah konkret bisa dimulai dari penguatan regulasi ketenagakerjaan digital.
Pemerintah harus berani menetapkan standar perlindungan minimal bagi pekerja platform, termasuk transparansi algoritma, batas jam kerja, standar upah layak, serta akses terhadap jaminan sosial.
Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong audit independen terhadap sistem distribusi order yang digunakan oleh perusahaan aplikasi. Audit ini penting untuk menghapus kecurigaan dan menciptakan kepercayaan antara driver dan perusahaan.
Keseimbangan Baru untuk Masa Depan
Digitalisasi ekonomi adalah keniscayaan, tapi keadilan sosial juga harus menjadi fondasi. Negara tidak boleh sekadar menjadi fasilitator pertumbuhan ekonomi digital tanpa memikirkan nasib para pekerja yang menopangnya.
Sebaliknya, perusahaan aplikasi juga harus memahami bahwa keberlanjutan bisnis mereka sangat bergantung pada kepercayaan dan kesejahteraan para driver.
Aksi demo ojol 20 Mei 2025 hari ini bukan sekadar tututan pengadilan jalanan. Ia adalah refleksi atas model ekonomi yang gagal memberi tempat layak bagi manusia di tengah kemajuan teknologi.
Unjuk rasa damai ini harus dimaknai sebagai panggilan agar negara kembali berpihak kepada rakyat, bukan sekadar memanjakan kapital.
Negara Harus Menjadi Pelindung
Saatnya pemerintah berhenti berdiri di tengah-tengah ketidakadilan.
Harus ada keberpihakan yang jelas kepada mereka yang setiap hari bekerja keras demi menghidupi keluarga, yang menyumbang pertumbuhan ekonomi tanpa jaminan sosial sedikit pun.
Negara harus menjadi pelindung, bukan sekadar penonton. Jika tidak, maka ketimpangan digital hanya akan semakin dalam, dan kepercayaan rakyat terhadap negara akan terus terkikis.
Jangan sampai kita bangga sebagai negara digital, tetapi gagal menjadi negara yang adil.[]
EDITORIAL NASIONAL