KASUS terbaru yang melibatkan Benny K. Harman, anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat, dalam pembelaannya terhadap Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, kembali memunculkan perdebatan tentang di mana sebenarnya posisi para wakil rakyat.
Benny secara terang-terangan menyatakan bahwa Kaesang, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), bukanlah penyelenggara negara. Oleh karenanya, menurut Benny, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu memanggil Kaesang terkait penggunaan jet pribadi. Di mata Benny, status Kaesang sebagai anak presiden tidak menyangkut aturan penyelenggara negara atau pejabat negara.
Namun, di tengah pembelaan tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah tindakan Benny dan para pejabat lainnya benar-benar mewakili kepentingan rakyat? Atau justru cenderung membela pejabat dan elit politik?
Etika Publik: Rakyat atau Pejabat?
Dalam demokrasi, DPR adalah perpanjangan tangan rakyat yang diamanahkan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Sejatinya, tugas anggota legislatif adalah memastikan bahwa hak-hak rakyat terjamin, hukum ditegakkan secara adil, dan kepentingan rakyat menjadi prioritas utama.
Sayangnya, ketika seorang anggota DPR terlihat membela individu yang berada di lingkaran kekuasaan, persepsi publik bisa dengan mudah bergeser ke arah negatif. Saya kira ini adalah dampak yang tak bisa dielakkan.
Kasus jet pribadi yang melibatkan Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, memperlihatkan bagaimana keluarga pejabat kerap terperangkap dalam sorotan publik terkait gaya hidup mewah.
Jet pribadi yang mereka gunakan dalam perjalanan ke Amerika Serikat pada Agustus 2024 diduga disediakan oleh seorang pengusaha. Meski tidak ada pelanggaran hukum yang jelas, munculnya video yang memperlihatkan keduanya turun dari jet pribadi di Bandara Adi Soemarmo, Solo, memicu reaksi publik yang mempertanyakan transparansi dan etika penggunaan fasilitas mewah oleh keluarga pejabat.
Dalam situasi ini, penting bagi pejabat negara untuk menjaga kepercayaan publik. Gaya hidup yang mewah, apalagi jika dilihat sebagai fasilitas yang diberikan oleh pihak-pihak tertentu, dapat menimbulkan tuduhan konflik kepentingan. Pejabat publik dan keluarganya harus berhati-hati untuk tidak menampilkan citra yang bisa dianggap sebagai “foya-foya” di tengah ketimpangan sosial yang masih tinggi di Indonesia.
Sekiranya Kaesang bukan anak presiden, saya kira tidak ada yang akan menyoal. Permasalahan muncul karena Kaesang, walau bukan pejabat negara, ia adalah putra dari pejabat negara.
Wakil Rakyat atau Wakil Elit?
Teori perwakilan demokratis mengajarkan bahwa pejabat publik, terutama anggota legislatif, harus bertindak atas nama rakyat, bukan individu atau kelompok elit tertentu.
Dalam konteks ini, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat diharapkan menjadi benteng terakhir bagi kepentingan masyarakat luas. Ketika seorang anggota DPR seperti Benny K. Harman lebih banyak menghabiskan energi untuk membela figur yang berada di lingkaran kekuasaan, hal ini bisa menimbulkan persepsi bahwa fokusnya telah bergeser.
Apakah membela Kaesang dalam kasus ini merupakan bagian dari tugas utama seorang wakil rakyat? Ataukah, pembelaan ini justru mengaburkan misi utama DPR, yakni memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat?
Jika kita berkaca pada persepsi publik, seringkali tindakan pejabat yang membela elit dianggap sebagai cermin ketidakadilan. Ada kesan bahwa hukum hanya berlaku keras bagi masyarakat kecil, sementara para elit dapat menikmati fasilitas dan keistimewaan tanpa perlu khawatir akan tindakan hukum.
Dalam kasus Kaesang, meskipun Benny K. Harman menegaskan bahwa Kaesang bukan penyelenggara negara, pembelaan tersebut tetap membuka ruang bagi persepsi negatif tentang keberpihakan pejabat. Namanya persepsi tentu muncul atas sebuah aksi. Apakah persepsi yang negatif bisa dianggap salah? Tentu saja persepsi itu adalah “turunan’ dari aksi yang memang problematis bagi sebagian nalar sehat rakyat.
Krisis Kepercayaan Publik dan Asimetri Kekuasaan
DPR sebagai institusi memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan umum. Namun, realitas di lapangan sering kali memperlihatkan bahwa kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit, sebagaimana dijelaskan dalam teori oligarki. Ketika pejabat negara lebih sering membela sesama pejabat atau elit politik, rakyat bisa merasa ditinggalkan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain, di mana persepsi asimetri kekuasaan sering kali memperkuat anggapan bahwa sistem politik lebih mengutamakan kepentingan elit ketimbang rakyat luas. Meskipun dalam kasus Benny dan Kaesang tidak ada bukti nyata pelanggaran hukum, persepsi bahwa DPR tidak lagi membela kepentingan rakyat tetap menjadi isu yang sulit diabaikan.
Dalam banyak hal, krisis kepercayaan terhadap lembaga negara, termasuk DPR, sering kali dipicu oleh tindakan-tindakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Publik cenderung mengharapkan bahwa wakil mereka di parlemen akan berjuang untuk kepentingan mereka, bukan membela individu tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Haruskah DPR Membela Rakyat, Bukan Pejabat?
Jawabannya tentu saja iya. Sebagai lembaga yang diberi mandat oleh rakyat, DPR harus selalu menjaga fokusnya pada kepentingan masyarakat luas. Membela individu dari lingkaran kekuasaan tanpa pertimbangan yang matang dapat merusak citra DPR dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.
Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah bahwa semua warga negara, termasuk pejabat dan keluarganya, harus tunduk pada hukum yang sama.
Ketika seorang anggota DPR terlalu sibuk membela individu yang tidak masuk dalam kategori penyelenggara negara, padahal terdapat permasalahan-permasalahan rakyat yang lebih mendesak, hal ini bisa dilihat sebagai pengabaian tanggung jawab moral mereka.
Di sisi lain, penting juga untuk mempertimbangkan bahwa anggota DPR memiliki hak untuk menyuarakan pandangan mereka, termasuk pandangan yang membela individu tertentu.
Namun, dalam konteks etika publik, pembelaan semacam ini harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan kesan bahwa mereka lebih peduli terhadap kepentingan pejabat atau elit politik ketimbang kepentingan rakyat.
Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam demokrasi yang sehat, transparansi dan akuntabilitas adalah kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik. Pejabat publik, termasuk anggota DPR, harus selalu bersikap transparan dalam tindakan dan keputusan mereka. Ketika terjadi polemik, seperti dalam kasus jet pribadi yang digunakan Kaesang dan Erina, penting bagi pejabat untuk tidak segera mengambil sikap defensif yang dapat menimbulkan kesan bahwa mereka membela kepentingan tertentu.
Sebaliknya, mereka harus mendorong agar proses investigasi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku, tanpa ada intervensi atau pembelaan yang tidak perlu. Hal ini akan menunjukkan bahwa mereka berdiri di pihak rakyat, bukan pejabat.
Tindakan Benny K. Harman yang membela Kaesang dalam kasus penggunaan jet pribadi menimbulkan pertanyaan penting tentang keberpihakan anggota DPR. Apakah DPR seharusnya lebih fokus pada kepentingan rakyat atau pejabat?
Jawaban yang jelas adalah bahwa anggota DPR harus selalu berpihak pada rakyat. Membela individu yang berada di lingkaran kekuasaan tanpa alasan yang jelas hanya akan merusak citra DPR sebagai lembaga yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan kepentingan publik.
Pejabat publik harus menghindari tindakan yang dapat memperkuat persepsi bahwa mereka lebih membela elit ketimbang rakyat. Transparansi, akuntabilitas, dan etika yang kuat adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik.
Dan dalam konteks ini, anggota DPR seperti Benny K. Harman harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan pandangannya, agar tidak memperburuk krisis kepercayaan yang sudah ada. Mungkin Benny punya pikiran atau niat yang baik, tetapi dalam situasi seperti sekarang, niat dan pikiran baik tidaklah cukup, harus benar-benar ditunjang oleh argumentasi yang tidak menciderai nalar sehat publik.*
*) Imam Nawawi, kolumnis Nasional.news