Ketika Bansos Berubah Jadi Modal Judi

Mas Imam Nawawi

Minggu, 13 Juli 2025

Direktur Progressive Studies & Empowerment Center Imam Nawawi (Foto: Wahid Hanif/ Nasional.news)

FENOMENA 500 ribu penerima bantuan sosial (bansos) yang terindikasi menggunakan dananya untuk judi online adalah tamparan keras.

Jika ini kita biarkan, mungkin bangsa ini bukan hanya rusak alam dan lingkungannya, tetapi juga manusianya. Semoga ini tidak benar-benar terjadi.

Dana Rp 900 miliar yang seharusnya menopang hidup, justru ludes di meja judi virtual. Mengapa ini terjadi?
Sebuah pertanyaan yang mengoyak batin kita.

Ini bukan sekadar data statistik. Lebih dalam ini adalah indikasi krisis moral yang akut. Sebuah alarm yang seharusnya membuat kita semua terguncang, dari dosen hingga politisi, dari dai hingga warga biasa. Mengapa moralitas sebagian penduduk negeri semakin tergerogoti oleh materialisme?

Virus Materialisme?

Apakah ini murni materialisme? Keinginan untuk serba instan, kaya mendadak, tanpa keringat? Bahkan tanpa lagi peduli halal dan haram.

Mungkin sebagian. Namun, lebih dari itu, ini adalah gejala rapuhnya pondasi spiritual dan etika dalam masyarakat kita.

Orang yang rapuh spiritualnya akan buta dalam melihat kebenaran. Ia hanya butuh terhadap kenikmatan dan kesenangan. Bagaimanapun caranya. Itulah orang yang tak lagi peduli pada nilai.

Kita paham, semua orang butuh uang. Tapi kita tak boleh lupa, kita manusia, punya akal, paham moral.

Dalam kata yang lain, fungsi akal dan moral itu telah rusak. Maka kejadian buruk ini terus menjalar.

Sekarang, apakah mungkin kita bisa mengatasinya dalam situasi orang-orang yang sudah kaya semakin tamak terhadap uang negara. Menganggap rakyat bisa dihibur dengan permen-permen berupa bantuan.

Sementara itu, rakyat sendiri merasa tak puas dengan permen. Alhasil mereka menggadaikan akal dan moralnya dengan ikut judi. Terpaksa. Dalam bahasa yang lain, apa boleh buat.

Untung dengan Berbakti

Dalam perkara ini, akal kita semua tentu akan bersepakat: hentikan praktik buruk itu. Tapi apakah kesepakatan itu berarti masalah selesai?

Kita mesti mengubah definisi keuntungan itu sendiri. Pertama, gugat dahulu apa yang sekarang jadi praktik buruk. Misalnya, benarkah pejabat yang korupsi hidup dalam keberuntungan. Atau, apakah orang yang ikut judi adalah pribadi yang bahagia.

Kedua, siapa sebenarnya orang-orang yang beruntung itu.

Sisi lain, kalau kita menyusuri jalan sejarah para pejuang, mereka yang tulus mengabdi pada negeri ini, hidupnya biasa, meski jabatannya tinggi. Mereka sadar akan rakyat bahkan mereka mengerti pentingnya sejarah.

Coba perhatikan ketika para dosen bercerita tentang pahlawan. Apakah ada cerita tentang kenyamanan hidup mereka. Makan di restoran setiap hari dengan kendaraan mahal. Mereka jadi inspirasi karena kesederhanaan dan pembelaannya pada kebenaran.

Jadi, kita perlu lebih dalam menyadari esensi hidup ini. Dunia memang memberi karpet merah bagi yang punya uang banyak. Tapi sejarah tak memberi perhatian kepada orang yang tahunya hanya soal kesenangan pribadi. Apalagi dengan bermain-main tentang regulasi serta norma hati.

Kalau kita coba membuka halaman-halaman Alquran. Orang seperti Qarun yang hidup kaya raya, Allah tenggelamkan ke dalam perut bumi. Mengapa? Keberadaannya sudah tidak berguna, bahkan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.

*) Imam Nawawi, penulis adalah Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version