Dari Zakat ke Ladang, Ikhtiar Menghidupkan Kembali Ketahanan Pangan Kita

INDONESIA, negara agraris yang kaya akan sumber daya alam, kini menghadapi ironi besar, yakni ketergantungan pada impor pangan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga Oktober 2024, impor beras telah mencapai 3,48 juta ton, dengan total impor sepanjang tahun mencapai 5,17 juta ton.

swasembada pangan

Perihnya, karena ketergantungan ini meluas hingga pada komoditas lain seperti gandum, jagung, dan gula, yang terus meningkat. Kondisi ini menggambarkan sebuah realitas yang mengkhawatirkan bahwa bangsa agraris ini justru tak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Bacaan Lainnya

Selain masalah keberpihakan, salah satu penyebab utama krisis ini adalah demografi petani yang semakin menua. Data dari Sensus Pertanian (ST) 2023 yang dilakukan selama periode 1 Juni-31 Juli 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa rata-rata usia petani di Indonesia pada tahun 2023 adalah 55 tahun.

Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi petani tidak berjalan optimal, dan sektor pertanian semakin kehilangan daya tarik bagi generasi muda. Dengan demikian, produktivitas dan inovasi di sektor ini pun mengalami stagnasi.

Fenomena ini harus segera diatasi, mengingat petani merupakan tulang punggung ketahanan pangan nasional kita. Tanpa regenerasi yang efektif, Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang ketergantungan pada impor, membuatnya rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan global, terutama di tengah konstelasi geopolitik yang memanas.

Diversifikasi Pangan

Salah satu solusi yang perlu didorong adalah diversifikasi pangan lokal. Indonesia memiliki kekayaan pangan yang luar biasa, seperti sagu, sorgum, singkong, dan umbi-umbian, yang dapat menjadi alternatif pengganti beras.

Namun, tantangannya adalah bagaimana menjadikan komoditas ini menarik dan bernilai gizi tinggi sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.

Generasi muda harus mengambil peran penting dalam inovasi pangan ini. Mereka diharapkan mampu menciptakan produk-produk pangan lokal yang kreatif dan berdaya saing tinggi.

Sejalan dengan itu, kampanye tentang pentingnya konsumsi pangan lokal juga perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum yang sebagian besar diimpor.

Zakat untuk Ketahanan Pangan

Zakat, infak, dan sedekah (ZIS) memiliki potensi besar dalam mengatasi krisis pangan. Dana sosial ini dapat digunakan untuk memberdayakan petani, membangun infrastruktur pertanian, mengembangkan teknologi, dan mendistribusikan pangan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan.

“Zakat adalah instrumen ekonomi yang sangat penting dalam Islam,” ungkap Prof. Dr. M. Syafi’i Antonio, pakar ekonomi syariah. Ia menegaskan bahwa ZIS dapat menjadi solusi strategis dalam mengurangi kesenjangan sosial sekaligus memperkuat fondasi ketahanan pangan nasional.

Program-program zakat produktif yang berfokus pada sektor pertanian dapat menjadi jalan keluar. Misalnya, dana zakat dapat dialokasikan untuk memberikan pelatihan kepada petani muda, menyediakan bibit unggul, dan mendukung pemasaran hasil tani.

Dengan demikian, zakat tidak hanya menjadi sarana untuk membantu masyarakat miskin, tetapi juga untuk menciptakan keberlanjutan ekonomi di sektor pertanian.

Ketergantungan pada impor pangan tidak hanya mengancam kemandirian bangsa, tetapi juga berisiko terhadap stabilitas ekonomi. Perang di Ukraina, misalnya, telah memengaruhi harga gandum global, yang berdampak langsung pada biaya impor Indonesia.

Di sisi lain, defisit APBN sebesar Rp408,7 triliun pada akhir 2024 semakin membatasi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan intervensi besar-besaran di sektor pangan.

Solusi jangka panjang harus melibatkan sinergi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, swasta, lembaga zakat, dan masyarakat sipil. Pendidikan dan pelatihan bagi generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian modern menjadi prioritas. Teknologi pertanian juga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

Peran Generasi Muda

Di tengah tantangan besar ini, generasi muda Indonesia sebagai pendulum gerakan diharapkan menjadi motor perubahan. Mereka perlu menyadari bahwa masa depan bangsa ada di tangan mereka.

Dengan memanfaatkan teknologi digital, anak muda dapat menciptakan inovasi dalam pertanian modern, seperti pengembangan platform agritech yang menghubungkan petani dengan pasar atau pengelolaan data pertanian berbasis kecerdasan buatan.

Kesadaran akan pentingnya kemandirian pangan juga harus ditanamkan melalui kampanye edukatif. Anak muda perlu diberdayakan untuk tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen yang menciptakan nilai tambah bagi produk pangan lokal.

Dengan kolaborasi dan semangat gotong royong, cita-cita kemandirian pangan Indonesia bukanlah mimpi yang mustahil.

Pada akhrnya, kita memang tidak boleh menutup mata atas berbagai dinamika dan perubahan yang ada. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sektor pangan, tetapi dengan sinergi dan partisipasi kolaboratif kita semua, ada harapan untuk keluar dari krisis ini.

Peran ZIS sebagai instrumen ekonomi syariah dapat menjadi solusi jangka panjang untuk membangun ketahanan pangan yang berkeadilan. Sementara itu, anak muda harus diberi ruang dan dukungan untuk menciptakan inovasi di sektor pertanian.

Melalui langkah-langkah strategis ini, kita berharap, semoga Indonesia dapat mewujudkan kemandirian pangan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga memperkuat posisi bangsa di kancah global.[]

*) Imam Nawawi, penulis Kepala Humas Lembaga Amil Zakat Nasional Baitulmaal Hidayatullah (Laznas BMH)

Pos terkait