Eksplorasi Identitas Sosial Waria, Perspektif Psikologi Barat dan Psikologi Islam

WARIA, atau wanita-pria, merupakan fenomena sosial yang telah lama ada dalam masyarakat Indonesia. Mereka adalah individu yang secara biologis laki-laki namun mengidentifikasi diri dan berpenampilan sebagai perempuan.

annisa putri uin suska

Memahami identitas sosial waria menjadi penting tidak hanya untuk kesejahteraan mereka, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.

Artikel ini akan mengeksplorasi identitas sosial waria melalui dua lensa berbeda: teori identitas sosial Henri Tajfel dari psikologi Barat dan konsep fitrah dalam psikologi Islam.

Teori Identitas Sosial Henri Tajfel

Henri Tajfel, seorang psikolog sosial Polandia-Inggris, mengembangkan teori identitas sosial pada tahun 1970-an. Heni Tajfel mengembangkan Teori Identitas Sosial yang menyatakan bahwa sebagian dari konsep diri seseorang berasal dari keanggotaan mereka dalam kelompok sosial.

Menurut Henri Tajfel, individu cenderung mengkategorikan diri mereka dan orang lain ke dalam berbagai kelompok sosial, yang kemudian membentuk dasar untuk identitas sosial mereka (Tajfel, H., & Turner, J. C., 1979).

Dalam konteks waria, teori ini dapat membantu kita memahami bagaimana mereka membangun identitas sosial:

Kategorisasi Sosial: Waria mungkin mengkategorikan diri mereka sebagai bagian dari komunitas LGBTQ+ atau secara spesifik sebagai waria.

Identifikasi Sosial: Melalui identifikasi dengan komunitas waria, individu dapat memperoleh rasa memiliki dan harga diri positif.
Perbandingan Sosial: Waria mungkin membandingkan komunitas mereka dengan kelompok lain, yang dapat memperkuat identitas mereka.

Distinctiveness Psikologis: Waria mungkin menekankan keunikan budaya atau kontribusi artistik mereka sebagai cara untuk mencapai perbedaan psikologis positif (Tajfel, H., 1982).

Teori Tajfel menyoroti pentingnya kelompok sosial dalam pembentukan identitas waria. Ini menjelaskan mengapa banyak waria merasa terhubung kuat dengan komunitas mereka dan mengapa identitas ini menjadi aspek penting dalam kehidupan mereka (Whittle, S., 2006).

Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam

Di sisi lain, psikologi Islam menawarkan perspektif yang berbeda melalui konsep fitrah. Fitrah, secara umum dipahami sebagai keadaan alami atau sifat bawaan manusia, telah menjadi subjek interpretasi beragam oleh ulama Muslim.

Fitrah dapat didefinisikan sebagai sifat alami atau disposisi bawaan manusia yang cenderung pada kebaikan dan tauhid (keesaan Allah) (Al-Attas, S. M. N., 1985). Beberapa tokoh dan ulama Islam telah membahas konsep ini dalam kaitannya dengan identitas gender:

Ibn Taymiyyah memandang fitrah sebagai kondisi alami manusia yang cenderung pada kebenaran dan kebaikan (Ibn Taymiyyah, 1999). Dalam konteks identitas gender, perspektif ini memandang gender sebagai sesuatu yang ditentukan secara biologis.

Al-Ghazali menekankan bahwa fitrah adalah potensi bawaan manusia untuk mengenal Allah, namun dapat tertutupi oleh pengaruh lingkungan (Al-Ghazali, 2010). Perspektif ini membuka kemungkinan untuk memahami identitas waria sebagai hasil interaksi kompleks antara potensi bawaan dan pengaruh eksternal.

Muhammad Abduh menafsirkan fitrah sebagai kemampuan bawaan manusia untuk membedakan benar dan salah (Abduh, M., 1980). Interpretasi ini potensial memberikan ruang untuk pemahaman yang lebih fleksibel tentang identitas gender.

Yusuf Al-Qaradawi membedakan antara individu dengan kondisi biologis interseks dan mereka yang mengidentifikasi diri berbeda dari jenis kelamin lahiriahnya (Al-Qaradawi, Y., 2003). Pendekatan ini menawarkan nuansa dalam memahami variasi identitas gender.

Membandingkan Dua Perspektif

Teori identitas sosial Tajfel dan konsep fitrah dalam psikologi Islam menawarkan sudut pandang yang berbeda namun saling melengkapi dalam memahami identitas sosial waria:

Pembentukan identitas: Teori Tajfel menekankan peran lingkungan sosial dan kelompok dalam pembentukan identitas, sementara konsep fitrah lebih fokus pada sifat bawaan dan potensi alami manusia.

Fleksibilitas vs. Ketetapan: Teori Tajfel memandang identitas sebagai sesuatu yang lebih fleksibel dan dapat berubah, sedangkan konsep fitrah cenderung melihat adanya esensi tetap dalam diri manusia.

Peran masyarakat: Kedua perspektif mengakui pentingnya pengaruh sosial, tetapi dengan penekanan berbeda. Tajfel melihatnya sebagai faktor utama pembentuk identitas, sementara psikologi Islam memandangnya sebagai faktor yang dapat mempengaruhi atau bahkan menutupi fitrah.

Tujuan perkembangan: Teori Tajfel fokus pada pencapaian harga diri positif melalui identifikasi kelompok, sedangkan konsep fitrah menekankan pemenuhan potensi spiritual dan moral.

Pandangan tentang perbedaan: Teori Tajfel cenderung menerima keberagaman identitas sebagai hal yang alami dalam interaksi sosial, sementara interpretasi fitrah yang lebih konservatif mungkin memandang perbedaan gender non-konformis sebagai penyimpangan.

Menjembatani Dua Perspektif

Meskipun tampak bertentangan, kedua perspektif ini, teori identitas sosial Tajfel dan konsep fitrah dalam psikologi Islam, dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang identitas sosial waria:

Kompleksitas Identitas: Teori Tajfel membantu kita memahami bagaimana waria membangun identitas sosial positif dalam menghadapi stigma, sementara konsep fitrah mengingatkan kita akan dimensi spiritual identitas manusia.

Pengaruh Lingkungan: Kedua perspektif mengakui peran signifikan lingkungan dalam pembentukan identitas, meskipun dengan penekanan yang berbeda.

Kebutuhan akan Penerimaan: Baik psikologi Barat maupun Islam menekankan pentingnya komunitas dan penerimaan sosial bagi kesejahteraan individu.

Perjuangan Internal: Teori identitas sosial dan konsep fitrah sama-sama mengakui adanya potensi konflik internal dalam proses pembentukan identitas.

Kesimpulan

Memahami identitas sosial waria memerlukan pendekatan multidimensi yang mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, dan spiritual. Sementara teori Tajfel menawarkan kerangka untuk memahami proses pembentukan identitas sosial, konsep fitrah dalam psikologi Islam mengingatkan kita akan dimensi spiritual dan etis dari identitas manusia.

Menjembatani kedua perspektif ini dapat membuka jalan bagi pemahaman yang lebih empatik dan inklusif terhadap waria, sambil tetap menghormati kerangka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini juga menunjukkan pentingnya dialog antara berbagai disiplin ilmu dan tradisi pemikiran dalam menghadapi isu-isu kompleks seperti identitas gender.

Pada akhirnya, eksplorasi identitas sosial waria ini bukan hanya tentang memahami kelompok tertentu dalam masyarakat, tetapi juga tentang memperluas pemahaman kita tentang keberagaman manusia dan bagaimana kita dapat menciptakan ruang yang lebih inklusif bagi semua individu, terlepas dari identitas gender mereka.

*) Annisa Putri, S.Pd, penulis adalah mahasiswi Pascasarjana Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies dengan Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suska) Yogyakarta

Pos terkait