Jangan Habiskan Waktu untuk Mengurus Urusan Orang Lain

HARI masih subuh, tetapi sebuah grup WhatsApp sudah gaduh. Mereka sibuk mengulas ucapan seseorang yang sebenarnya tak begitu berarti. Mengapa? Mungkin karena perasaan marah, kesal, atau sekadar jengkel.

gosip

Namun, membahas sesuatu dengan dasar emosi semacam itu hanya akan membuat pikiran semakin kabur. Hasilnya? Diskusi menjadi tidak produktif dan cenderung emosional.

Bacaan Lainnya

Untung ada yang memilih sikap tepat dengan memberikan doa. Mendoakan merupakan kebaikan besar daripada mengeluarkan kata-kata yang tidak memberi manfaat. Lain hal kalau kata-kata itu memang disusun dengan basis argumen yang kokoh.

Sadarlah Kaum Muda

Anak muda masih sering terjebak dalam kebiasaan ini. Mengomentari kehidupan orang lain terasa lebih mudah daripada menciptakan karya.

Padahal, membuang waktu untuk hal seperti ini hanya akan menggerus energi dan menghambat produktivitas. Di era digital, informasi begitu cepat menyebar. Sayangnya, tidak semua orang mampu menyaring mana yang benar-benar penting dan bermanfaat.

Secara psikologi sosial, kecenderungan ikut campur dalam urusan orang lain bisa dijelaskan secara ilmiah. Otak manusia memiliki mirror neurons, yang membuat seseorang secara alami ingin memahami dan merespons tindakan orang lain.

Ketika seseorang mengetahui kehidupan orang lain, baik dengan niat membantu atau sekadar ingin tahu, otak melepaskan dopamin. Ini adalah hormon yang memberikan rasa kepuasan dan kesenangan. Itulah sebabnya banyak orang tertarik ikut campur dalam urusan orang lain, bahkan melalui media sosial.

Psikologi

Selain itu, ada faktor psikologis yang turut mempengaruhi. Teori Social Comparison dari Leon Festinger menyebutkan bahwa manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain.

Ketika seseorang mengomentari kehidupan orang lain, ia sering kali merasa lebih baik atau mencari pembenaran atas hidupnya sendiri.

Dalam beberapa kasus, hal ini menjadi mekanisme pertahanan untuk menghindari introspeksi diri. Padahal, introspeksi jauh lebih penting daripada mengurusi hal yang tidak membawa manfaat bagi diri sendiri.

Dari perspektif sosiologi, kebiasaan ini juga berkaitan dengan norma sosial dan budaya kolektif. Dalam masyarakat yang lebih kolektif, seseorang merasa bertanggung jawab terhadap komunitasnya, termasuk dalam ikut campur atau mengomentari kehidupan orang lain.

Terkadang, ini muncul dari niat baik, tetapi sering kali berubah menjadi gosip yang tidak sehat. Ketika keterlibatan dalam urusan orang lain dianggap wajar oleh masyarakat, kebiasaan ini semakin sulit dihentikan.

Miliki Batasan

Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Kesadaran untuk mengatur batasan sangat penting. Memahami bahwa tidak semua informasi perlu dikomentari bisa menjadi langkah awal.

Jika waktu dan energi yang kita habiskan untuk mengomentari kehidupan orang lain dialihkan ke hal yang lebih produktif, hidup kita akan jauh lebih berkembang. Ingatlah bahwa tugas kita di dunia ini tidak sedikit, jadi jangan sia-siakan waktu untuk hal yang tidak berguna.

Terlalu sibuk mengomentari hidup orang lain hanya akan membuat kita lupa bahwa kita juga punya hidup yang harus diperbaiki. Jangan pernah merasa hebat, sedangkan yang dilakukan sebatas berkata-kata tentang orang, bukan ide, bukan pula gagasan. Susun harimu dengan perintah Tuhan paling utama, membaca, itu lebih luar biasa.*

*) Imam Nawawi, penulis adalah kolumnis nasional.news dan Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

Pos terkait