SEJAK 24 Juli 2025, kawasan Asia Tenggara kembali diguncang oleh ketegangan militer. Kali ini, sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali meletup menjadi konfrontasi bersenjata yang membawa dampak serius.
Telah jatuh korban jiwa, pengungsian massal, dan krisis kemanusiaan di wilayah yang belum pernah benar-benar pulih dari trauma sejarah. Ditengah situasi pelik ini, Indonesia tidak boleh hanya jadi penonton.
Konflik di perbatasan Thailand-Kamboja bukanlah sengketa baru. Perselisihan atas wilayah dekat Candi Preah Vihear telah berlangsung puluhan tahun. Namun, bentrokan terbaru jauh lebih destruktif.
Data dari laporan berbagai sumber resmi menyebutkan bahwa selama lima hari konflik, setidaknya 33–35 orang tewas, sementara 140.000 hingga 270.000 orang mengungsi akibat gempuran artileri, roket BM-21, dan serangan udara oleh jet tempur Thailand F‑16 terhadap posisi militer Kamboja.
Serangan balasan dari Kamboja memicu eskalasi saling serang, dengan korban dari kalangan warga sipil mulai bermunculan. Sejumlah sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas umum ikut menjadi sasaran tidak langsung dari konflik tersebut.
Upaya diplomasi kemudian digagas oleh Malaysia, yang kini menjabat sebagai Ketua ASEAN. Pada 28 Juli 2025, digelar pertemuan di Putrajaya yang menghadirkan perwakilan tinggi dari kedua negara. Hasilnya: sebuah kesepakatan gencatan senjata “segera dan tanpa syarat”, yang berlaku mulai tengah malam di hari yang sama.
Namun, banyak pihak skeptis. Gencatan senjata belum sepenuhnya menghentikan kontak senjata kecil. Ketegangan tetap tinggi. Gencatan senjata tanpa kehadiran pemantau internasional hanya menjadi janji kosong. Di sinilah pentingnya kehadiran Indonesia sebagai negara penengah.
Sebagai negara terbesar dan paling berpengaruh di ASEAN, Indonesia tidak bisa berdiri di luar lingkaran. Rekam jejak Indonesia dalam mediasi konflik, termasuk keterlibatan dalam sengketa Thailand-Kamboja pada 2011, membuktikan bahwa Jakarta memiliki kredibilitas untuk bertindak sebagai penyeimbang.
Pemerintah Indonesia memang telah menyuarakan seruan agar kedua negara menyelesaikan konflik secara damai sesuai Piagam ASEAN dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Namun, pernyataan itu dinilai belum cukup.
Wakil Ketua DPR RI bahkan secara terbuka mendorong Presiden Prabowo dan Kementerian Luar Negeri untuk aktif menjadi jembatan komunikasi, bukan sekadar penyampai seruan damai.
Diplomasi pada saat krisis harus memiliki tiga kualitas sekaligus yaitu nilai inisiatif, legitimasi, dan keberanian mengambil posisi.
Kualitas inisiatif berarti Indonesia harus hadir lebih awal, tidak menunggu ASEAN bertindak. Mengingat Malaysia sudah memfasilitasi pertemuan awal, Indonesia dapat berperan sebagai koordinator teknis untuk membangun mekanisme verifikasi dan pengawasan gencatan senjata.
Berikutnya, legitimasi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN harus dimaksimalkan. Jakarta dapat mendorong terbentuknya misi pengamatan gabungan ASEAN yang netral, dengan personel dari negara-negara yang memiliki relasi baik dengan kedua pihak.
Sementara itu, keberanian mengambil posisi bukan berarti berpihak, tetapi menunjukkan kepemimpinan moral. Ketika warga sipil menjadi korban dan tatanan regional terancam, diam bukanlah netralitas, melainkan pembiaran.
Peta Jalan Diplomasi Indonesia
Untuk merespons krisis ini secara sistematis, Indonesia perlu menyusun strategi berlapis yang mencakup diplomasi bilateral, pendekatan ASEAN, serta penguatan arsitektur keamanan regional. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang setidaknya dapat ditempuh.
Pertama, menggelar diplomasi shuttle antara Bangkok dan Phnom Penh, dengan dukungan negara ASEAN lainnya sebagai penjamin netralitas.
Kedua, Jakarta dapat membentuk Misi Pemantauan ASEAN (ASEAN Monitoring Mission) di perbatasan konflik, dengan mandat jelas dan waktu operasional terukur.
Ketiga, memfasilitasi dialog antar parlemen dan tokoh masyarakat sipil kedua negara sebagai jalur diplomasi non-formal.
Keempat, mengirim bantuan kemanusiaan serta memastikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia dan ASEAN lainnya di zona terdampak.
Terakhir, mendesak Dewan Keamanan PBB agar memberi dukungan atas inisiatif perdamaian ASEAN bila konflik terus bereskalasi.
Konflik Thailand-Kamboja adalah ujian terhadap legitimasi ASEAN sebagai kawasan damai, alih alih pertikaian dua negara tetangga belaka.
Bila gagal ditangani dengan cepat dan tegas, akan terbuka preseden buruk bahwa kekuatan militer bisa menjadi alat negosiasi batas negara.
Lebih dari itu, Indonesia, yang selama ini menyebut dirinya sebagai jangkar perdamaian regional, akan kehilangan otoritas moral jika tidak mengambil langkah nyata dalam momen krusial ini.