Gelombang perubahan besar tengah terjadi di kalangan Generasi Z. Di tengah dominasi teknologi digital, kelompok muda ini justru ramai-ramai meninggalkan smartphone dan beralih menggunakan ponsel fitur atau “feature phone” — perangkat sederhana yang hanya menawarkan fungsi dasar seperti telepon dan pesan teks.

Fenomena ini tidak hanya mencuri perhatian pasar, tetapi juga membuka diskusi serius tentang dampak penggunaan teknologi terhadap kesehatan mental.
Menjawab Kelelahan Digital
Generasi Z — mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012 — dikenal sebagai generasi paling terhubung dalam sejarah. Namun, kenyataan pahit mulai muncul. Paparan konstan terhadap media sosial dan aplikasi digital ternyata menimbulkan kelelahan mental yang serius.
“Banyak orang, terutama generasi muda, merasa jenuh dengan keterikatan terhadap layar smartphone,” ujar Jose Briones, moderator komunitas daring r/dumbphones, sebagaimana dikutip CNBC Indonesia.
Menurut Briones, ponsel jadul menawarkan ruang bagi pengguna untuk bernapas, merenung, dan membangun hubungan dunia nyata yang lebih bermakna.
Berpaling dari Layar, Menyapa Diri Sendiri
Sarah Diedrick, salah seorang pengguna feature phone, berbagi kisahnya. Ia mengungkapkan bahwa meninggalkan smartphone membuatnya lebih sadar akan emosi sendiri dan mengurangi overstimulasi harian.
“Tanpa notifikasi terus-menerus, saya punya kesempatan untuk mendengarkan diri sendiri,” ungkapnya.
Fenomena ini selaras dengan hasil studi di Journal of Experimental Psychology: Applied, yang menemukan bahwa mengurangi penggunaan smartphone hanya satu jam per hari dapat meningkatkan kesejahteraan mental secara signifikan.
Industri Ponsel Ikut Bergerak
Tren ini membawa dampak nyata pada industri.
HMD Global, pemegang lisensi Nokia, melaporkan lonjakan permintaan ponsel fitur di Amerika Serikat, dengan puluhan ribu unit terjual setiap bulan sepanjang 2022.
Meski pasar global untuk ponsel fitur cenderung menurun, penjualan di Amerika Utara justru menunjukkan tren sebaliknya.
Perusahaan seperti Punkt dan Light turut menangkap momentum ini dengan menghadirkan produk minimalis tanpa akses media sosial, menawarkan alternatif bagi mereka yang ingin “puasa digital”.
Munculnya Komunitas Anti-Smartphone
Fenomena ini melahirkan berbagai gerakan sosial. Salah satunya adalah Klub Luddite di New York, sebuah komunitas anak muda yang mempromosikan gaya hidup minim teknologi.
Menurut salah satu pendiri, Lola Shub, menggunakan ponsel jadul memberi kesempatan untuk membangun koneksi nyata dengan lingkungan sekitar.
“Daripada sibuk dengan dunia maya, kami memilih untuk benar-benar hadir di dunia nyata,” katanya.
Tren yang Mulai Menyebar ke Indonesia
Meski belum sebesar di Amerika Serikat, tren serupa mulai terlihat di Indonesia.
Prof. Dr. Nurul Hartini dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga menyebutkan bahwa penggunaan smartphone secara berlebihan dapat menyebabkan gangguan kognitif, emosional, hingga sosial.
Ia mendorong masyarakat untuk lebih bijak dalam mengatur intensitas penggunaan gadget.
“Evaluasi bukan hanya dari durasi, tetapi juga dari kualitas interaksi kita dengan teknologi,” jelasnya.
Mengapa Tren Ini Penting?
Berpindah ke ponsel jadul bukan sekadar nostalgia.
Ini adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi teknologi, sekaligus upaya Gen Z untuk merebut kembali kontrol atas hidup mereka.
Dalam era ketika perhatian menjadi komoditas berharga, keputusan untuk disconnect adalah pernyataan berani: bahwa hubungan manusia, kesehatan mental, dan keseimbangan hidup lebih penting daripada sekadar koneksi online tanpa henti.
Peralihan Gen Z dari smartphone ke ponsel jadul mencerminkan transformasi sosial yang lebih dalam: pencarian atas makna, keseimbangan, dan kebebasan dari keterikatan digital.
Tren ini mungkin baru permulaan. Seiring meningkatnya kesadaran akan dampak teknologi terhadap kesehatan jiwa, bisa jadi kita akan menyaksikan lebih banyak inovasi — bukan untuk mempercepat hidup, tapi untuk memperlambat dan memaknainya.