SAYA berkomitmen menulis minimal 7 paragraf setiap hari di kolom Nun Sense ini. Dan, tulisan ini mengawali komitmen tersebut. Menulis merupakan pekerjaan mudah. Bisa dilakukan siapapun. Itu kata orang yang hebat menulis.
Tapi, bagi saya, menulis pekerjaan tidak gampang. Runyam. Seringkali banyak kesukaran dihadapi, bahkan untuk sekedar memulai kalimat pertama. Apalagi bagi kita yang tidak memiliki tradisi analitik sejak dini.
Kemampuan menulis memang amat dipengaruhi oleh kacakapan analisis. Orang yang telah memiliki kemampuan dasar tradisi berfikir, menelaah, dan mengurai masalah, biasanya akan mudah sekali menuangkan gagasanya. Mengalir bak air terjun yang tumpah ruah.
Oleh karena menulis merupakan pekerjaan otak, maka bagi saya ia mensyaratkan 2 hal. Pertama, keluwesan. Kedua, kemerdekaan. Keduanya senantiasa sepenarikan nafas.
Keluwesan menghendaki keterbukaan pikiran, pertukaran ide, membuka ruang persilangan nilai nilai, dan, tentu saja, imuniti. Sementara, kemerdekaan menarik kita masuk ke ruang ruang pertarungan wacana tanpa belenggu.
Menulis bukan semata cerita, pelarian lara, penumpah amarah, keluh kesah, atau menjadi ruang determinasi untuk mengeksekusi. Lebih dari itu, menulis adalah pekerjaan “meta” peradaban yang pasti dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dimensinya, dunia akhirat.
Pada titik ini, menulis akhirnya dapat kita pahami tidak hanya tentang keterbangunan pola pola, himpunan risalah risalah, dan berkenaan dengan gagasan belaka. Menulis juga menuntut kita untuk mengurai dikotomisme dan sebagai ladang amal shaleh.