Netanyahu Hindari 124 Negara Anggota ICC demi Hadiri Sidang PBB

NN Newsroom

Sabtu, 27 September 2025

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (Foto: Downing Street/ Flickr)

Spektrum bahasan

NASIONAL.NEWS — Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terus menegaskan perannya dalam menindak kejahatan perang. Tahun lalu, lembaga itu menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.

Keduanya dituding telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik Israel–Hamas di Gaza.

Dalam pernyataan resminya pada 21 November 2024, ICC menegaskan telah menemukan “alasan yang masuk akal” untuk meyakini Netanyahu dan Gallant memikul “tanggung jawab secara pidana”.

Tudingan tersebut mencakup penggunaan kelaparan sebagai metode perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan berupa “pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya” terhadap warga sipil Palestina.

Surat perintah penangkapan itu menjadikan Netanyahu dalam posisi sulit. Menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, ia memilih rute penerbangan yang lebih panjang dan tidak biasa.

Langkah ini diambil, menurut laporan, agar ia tidak melalui wilayah udara negara anggota ICC yang berpotensi melaksanakan perintah penangkapan.

“Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengambil rute yang tidak biasa dan lebih panjang dalam penerbangan ke New York, Amerika Serikat (AS),” tertulis dalam laporan tersebut.

Rute diplomatik dan politik ini mencerminkan konsekuensi serius dari status hukum seorang kepala pemerintahan di hadapan komunitas internasional.

Anomali Negara Anggota ICC

Netanyahu menolak tuduhan ICC dan menuduh lembaga itu bersikap diskriminatif. Ia menyebut perintah tersebut sebagai “langkah anti-Semitisme” yang mengabaikan realitas konflik.

Meskipun demikian, perintah penangkapan ICC memiliki implikasi nyata, bahwa jika Netanyahu menginjakkan kaki di 124 negara anggota Statuta Roma, ia berpotensi ditangkap dan dibawa ke Den Haag.

Situasi ini memunculkan ketegangan diplomatik. Beberapa negara anggota ICC, termasuk Prancis, bersikap anomali dan dinyatakan menolak untuk mengeksekusi perintah penangkapan.

Padahal, secara hukum internasional, negara anggota seharusnya wajib mematuhi keputusan ICC. Penolakan tersebut memperlihatkan adanya tarik menarik antara komitmen hukum internasional dan kepentingan politik nasional masing-masing negara.

Bagi ICC, kasus Netanyahu dan Gallant adalah ujian besar bagi keamanan dunia. Lembaga ini harus menunjukkan konsistensi dalam menegakkan keadilan, bahkan terhadap tokoh politik yang masih aktif memimpin sebuah negara.

Sedangkan bagi Israel, perintah ini menambah lapisan kompleksitas dalam hubungan diplomatik, terutama dengan negara-negara yang menuntut pertanggungjawaban atas operasi militer di Gaza sejak Oktober 2023.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version