Pakar Jelaskan Fenomena Anomali Iklim 2025 yang Berdampak ke Petani

NN Newsroom

Selasa, 15 Juli 2025

Ilustrasi lahan persawahan di pedesaan (Foto: Ai Dream Lab/ Nasional.news)

NASIONAL.NEWS — Tahun 2025 menandai tonggak positif bagi sektor pertanian Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, terjadi surplus stok beras secara nasional. Peristiwa ini dinilai sebagai sinyal kebangkitan sektor pertanian dan menguatkan posisi Indonesia menuju lumbung pangan dunia.

Namun, keberhasilan tersebut kini berhadapan dengan tantangan baru berupa kemarau basah, fenomena iklim anomali yang memperpanjang curah hujan di musim kemarau.

Bulan Mei hingga Juli yang biasanya menjadi awal musim kemarau justru diwarnai oleh hujan intens dan bahkan banjir di sejumlah wilayah.

Fenomena ini mendapat sorotan dari Bayu Dwi Apri Nugroho, Ph.D., pakar agrometeorologi dan perubahan iklim dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (FTP UGM).

“Merujuk pada informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau basah diprediksi akan terjadi selama 3 bulan ke depan, yaitu sampai Oktober 2024,” jelas Apri dalam pernyataannya di kampus FTP UGM yang dikutip dari laman UGM, Selasa (15/7/2025).

Dampak Terhadap Petani

Menurut Apri, dampak langsung dari kemarau basah ini sudah terasa di tingkat petani.

Pada bulan-bulan yang biasanya digunakan untuk menanam komoditas hortikultura seperti cabai dan bawang merah, intensitas hujan yang tinggi justru mengakibatkan banjir lahan. Hal ini membuat banyak petani mengalami gagal tanam karena perhitungan musim yang meleset.

“Petani mengira curah hujan sudah menurun pada Mei-Juni, ternyata justru sebaliknya. Banjir menyebabkan mereka gagal melakukan penanaman atau pemanenan (puso),” terang Apri.

Meski demikian, kemarau basah juga membawa sisi positif bagi wilayah kering seperti Papua dan Indonesia Timur, yang justru mendapatkan pasokan air cukup untuk mendukung aktivitas pertanian.

Pentingnya Langkah Antisipatif

Apri menekankan pentingnya langkah antisipatif menghadapi dampak La Niña dan anomali cuaca lainnya.

Salah satu langkahnya adalah kebutuhan akan prediksi cuaca yang rinci hingga level desa, disertai dengan edukasi berkelanjutan kepada petani melalui penyuluh lapangan.

“Prediksi awal terjadinya La Niña ini bermanfaat dalam membantu perencanaan dan pengelolaan berbagai sektor seperti sumber daya air, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, perikanan serta menghindari atau mengurangi potensi kerugian yang lebih besar,” jelasnya.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya asuransi pertanian dan kesiapan infrastruktur seperti pompa air, irigasi tersier, serta penggunaan benih tahan genangan seperti Inpara 1–10, Inpari 29, Inpari 30, dan Ciherang.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version