KECERDASAN manusia diperbandingkan dengan kecerdasan buatan adalah bukan kesepadanan. Manusia dengan segala kecerdasannya, dapat mengoperasikan peralatan notabene mengharuskan operator.
Idealnya, bentuknya adalah hubungan karena perbandingan antara keduanya tidaklah seimbang. Namun demikian, menjalin hubungan kedua kecerdasan tersebut juga tidak mudah.
Hubungan antara kecerdasan buatan dengan kecerdasan manusia dapat disaksikan pada fenomena keberadaan teknologi.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia menunjukkan hubungan yang relatif dinamis. Relativitas hubungan tersebut tampak pada bentuk-bentuk peranan keduanya.
Bentuk pertama, manusia belajar, tumbuh dan berkembang. Pertama-tama manusia belajar untuk mengetahui, banyak hal dipertanyakan kemudian ia menemukan jawaban dan terus berkembang dengan pengetahuan terus tumbuh dan mengembangkannya.
Tidak sedikit kesulitan yang dihadapi dalam memperoleh pengetahuan tersebut, namun hasil yang maksimal menjadi suatu contoh berupa alat guna teknologi.
Mempelajari ilmu yang telah ada kemudian senantiasa mengembangkannya atau model dialektis demikian atau budaya paradigma pemikiran pendidikan. Demikian kiranya adopsi metode yang diterapkan dalam pengembangan teknologi.
Bentuk kedua, dominasi teknologi. Fenomena dewasa ini berupa pesatnya pengaruh teknologi seolah menunjukkan kembali peranan teknologi pada awal lahirnya era industrial di Eropa.
Kala itu, masyarakat melihat teknologi sebagai realitas yang mengancam eksistensi kemanusiaan manusia abad modern. Manusia menjadi asing terhadap dunianya juga terhadap dirinya sendiri. Bahkan manusia mendapat tuntutan untuk mempelajari ilmu yang telah berkembang.
Tidak hanya ilmu menjelma tuntutan, teknologi juga menuntut untuk dikembangkan. Dalam hal ini dominasi teknologi adalah candu sesungguhnya.
Bentuk ketiga, manusia dikendalikan mesin. Pada titik ini teknologi nyata menjelma ancaman. Ketika teknologi mengambil alih peranan manusia maka kenyataan yang akan terjadi adalah ketakutan dan bukan tidak mungkin dapat terjadi chaos. Jika demikian, maka teknologi menjadi ancaman yang sesungguhnya.
Bukan hanya terdapat dalam adegan film, seperti transformasi misalnya, namun, meskipun sulit dibayangkan, kondisi ini patut untuk diwaspadai dalam hal perkembangan teknologi sejak jauh-jauh hari. Sikap antipati terhadap cerminan sejarah masa lalu menjadi keniscayaan untuk mawas diri dan kewaspadaan.
Bentuk keempat, sempat disinggung pada poin sebelumnya, yaitu teknologi menjelma candu. Siapa yang sadar, atau siapa di zaman ini yang dapat melepaskan diri dari pengaruh teknologi? Adakah yang sadar bahwa teknologi menjelma menyerupai sihir (magic) yang menjadikannya dibutuhkan manusia dalam setiap sisi hidupnya?
Kondisi ini lebih berbahaya dari sekedar dominasi teknologi atas peranan manusia. Kondisi butuh yang diciptakan. Teknologi dalam hubungannya dengan manusia menjelma candu yang sesungguhnya, sulit melepaskan diri bagi yang tidak menyadarinya.
Bentuk kelima, kesadaran nilai guna alat dan esensi serta eksistensi manusia yang tidak terganti oleh Artificial Intelligence atau teknologi secanggih apa pun.
Demikian bentuk yang paling mungkin dijalin antara hubungan manusia dengan pemanfaatan teknologi. Kesadaran akan diri manusia sebagai hamba Allah yang merupakan khalifatullah, dengan kehadiran teknologi sekedar alat.
Nilai prestisius, kemudahan akses, serta teknologi sebagai alat kekayaan duniawi, keindahannya pun tidak akan menipu atau kemewahannya tidak sekedar melalaikan manusia dari yang semestinya manusia.[]
*) Nazwar, S. Fil. I., M. Phil, penulis adalah dosen dan penulis lepas tinggal di Yogyakarta