Riset Akademisi Unair Ungkap Sisi Lain Fanatisme Sepak Bola Indonesia

NN Newsroom

Minggu, 13 Juli 2025

Ilusrasi kekacauan dan bentrok antar supporter di dalam stadion (Foto: Ai Dream Lab/ Nasional.news)

NASIONAL.NEWS — Fanatisme dalam mendukung tim sepak bola di Indonesia bukan lagi soal cinta biasa. Ia telah menjelma menjadi bentuk nasionalisme yang membara, bahkan kadang membakar batas kewajaran.

Demikianlah temuan penting dari riset multidisiplin yang dilakukan oleh tim akademisi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), dipimpin oleh Rizky Sugianto Putri, S.Ant., M.Si., dosen Antropologi.

“Indonesia termasuk dalam 20 besar negara dengan basis penggemar sepak bola terbesar di dunia, bahkan nomor dua di Asia. Tapi semangat yang besar ini, kalau tidak dikelola dengan baik, bisa berubah menjadi sesuatu yang destruktif,” ungkap Kiki, sapaan akrab Rizky, seperti dikutip dari laman Unair.

Soroti Fenomena Hyper Nationalism

Riset Rizky Sugianto Putri ini mengkaji fenomena hyper nationalism di kalangan suporter bola, yang dimanifestasikan melalui perilaku cyberbullying dan aksi-aksi anarkis.

Ketika tim nasional atau klub kesayangan kalah, ruang digital seperti media sosial menjadi medan pelampiasan emosi. Pemain, wasit, hingga suporter lawan jadi sasaran kekerasan verbal yang merusak semangat sportivitas.

“Tragedi itu tak hanya menyisakan luka bagi suporter, tapi juga warga sekitar stadion, pedagang, dan keluarga korban,” ujar Rizky menyinggung tragedi Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 130 orang sebagai puncak dari dampak negatif hyper nationalism.

Riset Libatkan Tiga Program Studi

Riset yang melibatkan tiga program studi—Antropologi, Hubungan Internasional, dan Ilmu Komunikasi—ini menyuarakan pentingnya inklusi sosial dalam komunitas suporter.

Anggotanya terdiri dari para akademisi seperti Citra Hennida, S.IP., M.A., dan Irfan Wahyudi, Ph.D., serta mahasiswa FISIP UNAIR: Rachmad Kuncoro, Salma, Putra, dan Dani.

“Banyak perempuan, anak-anak, bahkan orang tua merasa takut datang ke stadion karena suasana yang tidak ramah. Sepak bola kita masih terasa eksklusif untuk kelompok tertentu saja,” kata Kiki.

Mengacu pada poin-poin Sustainable Development Goals (SDGs)—khususnya poin 10 dan 11—riset ini mendorong pemangku kebijakan seperti PSSI dan Kemenpora menyusun manajemen suporter yang inklusif, aman, dan terstruktur.

“Ketika kita tahu karakter dan pola perilaku suporter, kita bisa menyusun pendekatan yang tepat agar mereka tetap bisa mengekspresikan dukungan tanpa merugikan orang lain. Sepak bola harus menjadi ruang persatuan, bukan perpecahan,” tutup Rizky.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version