Demokrasi tidak bisa lepas dari partai politik. Mereka adalah aktor utama dalam sistem demokrasi, meskipun banyak dari kita merasakan kekecewaan terhadap perilaku mereka.
Di era reformasi ini, kita belum melihat partai politik yang benar-benar tulus dan terbuka dalam menyambung aspirasi rakyat. Partai-partai politik tampaknya lebih sibuk dengan kepentingan pragmatis mereka sendiri daripada memikirkan kesejahteraan masyarakat yang memilih mereka.
Ironisnya, meskipun dipilih oleh rakyat, ketika para politisi sudah duduk di kursi kekuasaan di Senayan, mereka cenderung mengabaikan suara rakyat.
Kepentingan pragmatis, sering kali berkaitan dengan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, menjadi prioritas utama.
Rakyat hanya menjadi pertimbangan serius ketika mereka bersatu dalam satu suara, menolak sebuah kebijakan yang merugikan mereka. Ini menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki kekuatan, tetapi sering kali kekuatan itu baru terlihat ketika sudah ada masalah yang nyata.
Abai
Isu-isu penting seperti harga bahan pokok, pengangguran, dan masalah pendidikan sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak dari partai politik. Umumnya itu mereka abaikan.
Jarang sekali kita melihat partai politik yang benar-benar memandu anggotanya untuk bersuara lantang dan serempak dari Sabang sampai Merauke terkait isu-isu krusial ini. Ketika isu-isu ini diangkat, sering kali hanya untuk kepentingan politik jangka pendek, bukan karena komitmen terhadap kesejahteraan rakyat.
Contoh lain dari pragmatisme politik adalah perubahan arah yang drastis dalam persekutuan politik.
Dahulu, kita melihat bagaimana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan bersaing dengan sengit. Namun, sekarang, Anies menjadi calon yang diusung oleh partai tempat Ahok pernah meniti karir. Ini adalah bukti nyata bahwa dalam politik, tidak ada musuh atau teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
Contoh lainnya, partai seperti PKS, PKB, dan Nasdem pernah menggaungkan semangat perubahan. Namun, setelah Pilpres, mereka mulai menunjukkan perubahan sikap.
Kabar terbaru menyebutkan bahwa PKS dan PKB mungkin akan kembali mendukung Anies Baswedan setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Pilkada. Perubahan sikap ini memperlihatkan betapa dinamis dan tidak konsistennya politik di negeri ini.
Fokus Rakyat
Dalam situasi politik yang penuh ketidakpastian ini, rakyat harus fokus pada dua hal utama. Pertama, mereka harus jeli melihat calon yang diusung oleh partai politik. Apakah calon tersebut benar-benar cerdas dan berhati nurani, atau hanya menjadi alat bagi kepentingan oligarki? Ini adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum memberikan dukungan.
Kedua, kontrol pasca pemilihan sangat penting. Rakyat tidak boleh berhenti terlibat hanya sampai pemilihan selesai.
Setelah pemilihan, harus ada kontrol ketat terhadap jalannya pemerintahan dari calon terpilih, termasuk partai yang mengusungnya. Bentuk kontrol ini bisa dimulai dari level yang paling rendah, seperti RT atau komunitas.
Anak-anak muda bisa dilibatkan untuk mencatat janji-janji dari setiap calon, menyimpannya dengan baik, dan mengevaluasi pelaksanaannya setelah 100 hingga 1000 hari masa pemerintahan. Jika janji-janji tersebut tidak terpenuhi, rakyat harus bersatu dan bersuara lantang, seperti saat menolak RUU Pilkada.
Jika rakyat memiliki sikap seperti ini, para ketua umum partai politik akan berpikir seribu kali sebelum bermain-main dengan kesejahteraan rakyat. Mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan, karena mereka tahu bahwa rakyat tidak akan tinggal diam jika merasa dikhianati.
Jadi, politik yang rasional adalah politik yang melibatkan partisipasi aktif dari rakyat, tidak hanya saat pemilihan, tetapi juga dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Saatnya rakyat mengambil peran lebih besar dan memastikan bahwa suara mereka tidak hanya didengar, tetapi juga dihargai. Dengan begitu, kita bisa berharap bahwa partai politik akan lebih tulus dalam menjalankan tugas mereka sebagai penyambung aspirasi rakyat.[]
*) Imam Nawawi, penulis kolumnis Nasional.news