JAKARTA — Jakarta, dengan segala hiruk-pikuk dan deretan kendaraan di setiap lampu merah, menghadirkan tantangan besar bagi siapa saja yang bertekad menciptakan solusi ampuh atas kemacetannya.
Kali ini, untuk mengurai masalah macet daerah khusus ini, kandidat gubernur Jakarta nomor urut 2, Dharma Pongrekun, tampil dengan gagasan menarik bahkan terbilang out of the box yang mungkin bagi sebagian orang strateginya ini nyeleneh.
Dharma punya pandangan bahwa akar dari kemacetan yang bikin warga stres bukanlah jumlah kendaraan, tapi justru lampu merah yang ada di setiap persimpangan ramai.
Menurutnya, lampu merah adalah biang kemacetan yang memperlambat arus lalu lintas Jakarta. Jadi, idenya? Buatlah Jakarta tanpa lampu merah, ganti dengan teknologi pembangunan underpass dan overpass yang kilat—konon bisa dibangun dalam waktu 7 hari saja!
“Jadi, supaya menghindari adanya lampu merah di persimpangan-persimpangan jalan, sudah ada teknologi yang hanya dalam 7 hari overpass dan underpass itu akan terbangun,” ungkap Dharma saat menghadiri acara ‘Silaturahmi Kebangsaan’ di Sekretariat Perhimpunan Tionghoa Indonesia (INTI), Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Selasa (29/10/2024).
Apa yang membuat konsep ini menarik? Selain kecepatannya, ide ini seakan menjanjikan kelancaran aliran lalu lintas tanpa henti, mirip seperti air yang mengalir tanpa hambatan. Dharma menyebut bahwa ada teknologi canggih yang bisa menyelesaikan pembangunan dalam hitungan hari di titik-titik kemacetan yang sudah dipetakan dengan matang.
Lampu Merah Jadi Biang Kerok?
Dalam pandangan Dharma, lampu merah lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Ketika salah satu sisi jalan padat, lampu merah malah memperburuk situasi di sisi yang sudah macet. Idenya adalah untuk membangun infrastruktur yang memungkinkan kendaraan tetap bergerak tanpa perlu berhenti di persimpangan, memanfaatkan jalan underpass dan overpass.
“(Titik prioritasnya) Di persimpangan-persimpangan jalan yang masih menggunakan lampu merah. Pokoknya titik macet sudah dipetakan. Jadi, harus diperbanyak. Jangan ada lagi lampu merah. Thamrin saja masih ada lampu merah,” ujar Dharma.
Menurut Dharma, sistem lampu merah yang sudah ada sebenarnya gagal dalam memenuhi kebutuhan lalu lintas kota megapolitan seperti Jakarta.
“Jadi ternyata setelah kami pelajari, lampu merah, separator jalan itu harus dicabut. Karena ternyata kadang-kadang di sininya (salah satu sisi) padat, di sininya (sisi lain) kosong,” jelasnya.
Tawarkan Teknologi “7 Hari Jadi”
Dharma menyatakan sudah ada 5 teknologi yang bisa mendukung visi “Jakarta Bebas Lampu Merah” ini. Setiap teknologi tersebut menawarkan kecepatan pembangunan yang luar biasa—satu underpass atau overpass dalam waktu 7 hari saja. Dengan begitu, persimpangan padat bisa segera diurai dalam hitungan hari, memberikan jalan baru bagi aliran kendaraan yang lebih lancar dan teratur.
“Ada 5 teknologi yang bisa dilakukan. Tinggal pilih yang mana. (7 hari) Di satu titik. Lumayan cepat dong. Sangat efektif. Akan lebih efektif daripada yang kita lihat di Bundaran Semanggi,” tambahnya. Bagi Dharma, jika teknologi ini bisa diterapkan secara konsisten, Jakarta bisa mengurangi kemacetan secara signifikan.
Namun, ada beberapa pertanyaan yang patut direnungkan, seperti, bagaimana teknologi ini akan menyatu dengan infrastruktur yang sudah ada? Apakah teknologi ini ramah lingkungan dan bisa bertahan lama dalam menghadapi kondisi Jakarta yang terkenal dengan intensitas curah hujan yang tinggi?
Persimpangan Jadi Seperti Aliran Air
Dalam pernyataannya, Dharma menganalogikan arus kendaraan dengan air. Menurutnya, dengan underpass dan overpass, pergerakan kendaraan di persimpangan bisa lancar seperti aliran air tanpa henti.
“Karena nanti ada underpass-nya, ada overpass-nya. Dia akan lebih sirkulasinya akan jalan, kayak air,” jelas Dharma. Tampaknya ini adalah gambaran ideal dari kota tanpa lampu merah, di mana kendaraan bisa “mengalir” tanpa hambatan yang berlebihan.
Namun, membayangkan aliran kendaraan layaknya air ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan bagi banyak pihak, terutama para ahli lalu lintas dan perkotaan. Bagaimana caranya memastikan bahwa konsep “aliran” ini dapat dijaga dalam kenyataan, mengingat kepadatan lalu lintas Jakarta? Sebab, tanpa regulasi lalu lintas yang tepat, arus yang lancar bisa berubah menjadi arus tersendat.
Bisakah Diterapkan?
Walaupun konsep ini terdengar segar, penerapan teknologi ini jelas bukan tanpa tantangan. Pertama, perlu ada perencanaan matang dalam hal biaya dan anggaran. Serta, ada pertanyaan besar tentang keterjangkauan teknologi “7 Hari Jadi” ini dan siapa yang akan menanggung pembiayaannya.
Masalah berikutnya yang perlu dipikirkan, bagaimana dengan warga yang tinggal di sekitar titik pembangunan? Apakah ini akan menambah kemacetan sementara di wilayah tersebut?
Kedua, konsep “bebas lampu merah” ini membutuhkan sistem peraturan yang ketat dan teknologi pengaturan lalu lintas yang canggih untuk menggantikan fungsi lampu merah. Di berbagai kota besar di dunia, lampu merah tetap dibutuhkan untuk mengatur arus kendaraan secara tertib, terutama di jam-jam sibuk.
Apa Kata Warga?
Respon warga pun kemungkinan besar akan terbagi atas ide ini. Bagi sebagian orang, konsep ini menawarkan secercah harapan dalam menghadapi kemacetan Jakarta yang tak kunjung usai. Namun, sebagian lainnya mungkin skeptis, mengingat kecepatan dan skala proyek yang diajukan.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, Dharma tampaknya sangat yakin bahwa proyek ini dapat menjadi solusi jitu. “Ini akan lebih efektif daripada yang kita lihat di Bundaran Semanggi,” ungkapnya, menegaskan betapa pentingnya perubahan ini untuk Jakarta yang lebih baik.
Kita tunggu saja!