JAKARTA — Meski Pilpres telah usai dan transisi pemerintahan terbilang mulus, namun suasana politik di Indonesia tetap saja terasa panas dan penuh gejolak. Seolah-olah kita sedang hidup dalam masa ‘pertarungan bebas’, di mana segala hal bisa dijadikan bahan perdebatan, bahkan perpecahan. Itulah diantara benang merah yang mengemuka dalam diskusi bertajuk “Menyongsong Momentum Indonesia, Refleksi 2024 dan Proyeksi 2025” di Jakarta, Rabu (1/1/2025).
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, sebagai pembicara pada kesempatan itu menyampaikan keprihatinannya terhadap fenomena politik liberal yang menurutnya sudah terlalu banyak merugikan harmoni nasional. Ia menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan restorasi nilai-nilai politik berbasis Pancasila sebagai jawaban atas kondisi yang terjadi saat ini.
Fahri menggambarkan politik liberal sebagai sistem yang bersifat “centang perenang.” Bayangkan ini seperti dapur yang berantakan setelah pesta besar: semua bahan makanan tercecer, peralatan kotor menumpuk, dan sulit mencari apa yang sebenarnya dibutuhkan. Begitulah kira-kira gambaran politik liberal menurut Fahri. Di dalam sistem ini, anak bangsa diadu, bertengkar, dan saling menghina, hanya untuk mencapai kepentingan tertentu.
Namun ironisnya, semua pertengkaran itu, menurut Fahri, justru tidak memberikan dampak signifikan bagi kemajuan bangsa. “Politik Pancasila ini harus di-restore sebagai bagian dari narasi besar kita untuk bersatu,” ujarnya lantang. Artinya, sudah saatnya kita kembali ke rumah besar Pancasila yang menjadi fondasi bangsa ini.
Pedang Bermata Dua
Kemajuan teknologi dan kebebasan berbicara di media sosial seolah menjadi bensin bagi api perpecahan. Fahri mencatat bahwa media sosial telah menjadi medan perang baru, di mana setiap individu merasa punya hak mutlak untuk menyerang siapa saja. Lebih parah lagi, bahkan pemimpin bangsa pun tak luput dari serangan-serangan tersebut.
Kondisi ini memprihatinkan, karena kebebasan yang seharusnya digunakan untuk membangun dialog positif malah seringkali berakhir menjadi ajang saling menjatuhkan. “Pada saat yang sama, sehingga ada orang tergoda untuk menjadi otoriter,” kata Fahri. Hal ini menurutnya menjadi tantangan besar bagi Indonesia, yang masih mencari titik keseimbangan antara kebebasan berbicara dan keharmonisan nasional.
Fahri juga mengamati bagaimana negara-negara lain menjalankan sistem politik mereka. Ia mencatat bahwa banyak negara tergoda untuk meniru model otoriter seperti China, yang berhasil menjadi negara maju hanya dalam satu generasi. Di sisi lain, ia juga mengkritik politik liberal ala Barat yang menurutnya gagal menciptakan konsolidasi di dalam bangsanya sendiri. Bahkan, moral bangsa-bangsa demokrasi di Barat dianggap menurun akibat konflik yang mereka alami.
“Pada akhirnya, kita harus mencari jalan tengah yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia,” ujar Fahri. Model politik otoriter ala China mungkin tidak cocok untuk Indonesia yang memiliki keberagaman luar biasa. Begitu pula, politik liberal Barat yang terlalu bebas bisa membawa kehancuran harmoni sosial. Jadi, apa solusinya? Tentu saja kembali ke Pancasila!
Tantangan untuk Presiden Prabowo
Dalam pandangannya, Fahri menekankan pentingnya peran Presiden Prabowo Subianto dalam mengkonsolidasikan bangsa. Ia menyarankan agar Prabowo menghindari pengaruh partai-partai ekstremis yang hanya mementingkan kepentingan kelompok mereka sendiri. “Kita harus punya arah yang baik,” tegas Fahri.
Menurutnya, diperlukan komando politik yang kuat dan mampu memunculkan jati diri bangsa Indonesia. Komando ini bukan hanya tentang mengatur, tetapi juga tentang menginspirasi seluruh rakyat untuk bersatu membangun masa depan yang lebih baik. Tantangan ini tidak mudah, tetapi dengan semangat Pancasila sebagai landasan, segalanya menjadi mungkin.
Jika kita melihat kembali sejarah, Pancasila dirancang sebagai pedoman hidup bangsa yang beragam ini. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai Pancasila seringkali terabaikan di tengah hiruk-pikuk politik. Fahri percaya bahwa mengembalikan politik ke jalur Pancasila adalah langkah penting untuk menciptakan keharmonisan dan persatuan nasional.
Restorasi Pancasila bukan hanya tentang mengingat kembali lima sila yang menjadi dasar negara. Lebih dari itu, ini adalah upaya untuk menghadirkan semangat gotong royong, rasa hormat, dan solidaritas di tengah masyarakat. Dalam konteks politik, ini berarti meninggalkan praktik-praktik yang mengadu domba dan mulai membangun dialog yang konstruktif.
Fahri memandang Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi bangsa besar. Namun, potensi ini hanya bisa terwujud jika kita bersatu dan bergerak bersama. Politik liberal mungkin telah memberikan kita pelajaran penting tentang apa yang harus dihindari, tetapi sekarang saatnya kita melangkah maju dengan nilai-nilai yang lebih relevan dan membangun.
Fahri Hamzah memberikan pesan yang jelas: saatnya meninggalkan politik yang memecah belah dan kembali ke semangat Pancasila. Ini bukan hanya tanggung jawab para pemimpin, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai rakyat Indonesia. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan mimpi bersama untuk masa depan yang lebih cerah. (nas/cha)