Andai Pendiri Bangsa Melihat Ada “Student Loan”

student loan

APA yang bisa kita bayangkan, sekira para pendiri bangsa bangkit dari kubur mereka. Lalu duduk di istana atau DPR untuk menyimak satu kebijakan baru untuk pendidikan anak negeri, yakni penerapan “student loan”. Mereka senang, sedih, atau bahkan lebih jauh, setuju atau murka?

Era industi dan materialisme telah mengatur nyaris semua cara manusia memandang, sehingga dunia pendidikan pun tak bisa lepas dari komersialisme. Seiring dengan fenomena mahalnya biaya pendidikan, pemerintah atau negara merasa seakan tak sanggup lagi. “Student loan” pun tampak seperti angin segar.

Bacaan Lainnya

Wamen Dikti Stella Christie awal April ini menerangkan bahwa akan ada program pinjaman pendidikan untuk mahasiswa (student loan). Ia berharap program itu meluncur pada Agustus atau September 2025.

Lantas bagimana kita memandang wacana yang akan jadi kebijakan itu?

Meniru Negara Lain

Kebijakan “Student Loan” tidak lepas dari penerapan yang telah berlangsung di beberapa negara maju. Seperti, AS, Inggris, Jepang, Norwegia, hingga Korea Selatan.

Swedia dan Norwegia memliki pendekatan “student loan” hanya fokus pada pinjaman biaya hidup. Karena pendidikan hampir gratis. Sementara itu AS menggunakan kebijakan itu untuk menutupi biaya kuliah yang memang tinggi.

Lantas bagaimana kalau Indonesia akan menerapkan konsep “student loan” itu?

Secara teknis konseptualisasi dengan pendekatan adaptif memang masih terbuka untuk pemerintah lakukan. Namun, pendidikan sebagai hak asasi manusia apakah benar sudah tidak ada jalan lain, kecuali dengan “student loan”.

Jika Indonesia sering kita sebut negara kaya, apakah iya, APBN negara sudah tak lagi bisa membela anak bangsa yang ingin kuliah?

Catatan Kritis

Indonesia seharusnya tegak berdiri di atas konstitusi. Merujuk pada Pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapakan pendidikan. Kemudian pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan yang merata dan berkualitas. Itu berarti kebijakan “student loan” masih penting didudukkan secara lebih matang.

Pasal itu menunjukkan bahwa negara punya komitmen dan wajib membiayai pendidikan dan mengalokasikan anggaran. Pertanyaannya apakah nafas konstitusi itu bisa kita anggap tegak dengan penerapan wacana “student loan”.

Pinjaman, apalagi berbunga merupakan praktik lama dalam dunia bisnis dan ekonomi. Memasukkan konsep “student loan” dalam ruang pendidikan menunjukkan bahwa cara berpikir ekonomi telah merobohkan semangat idealisme dan konstitusi negeri.

Jika misalnya langkah itu memang tak terhindarkan, apakah tidak mungkin kalau menerapkan skema bagi hasil antara mahasiswa dengan negara atau lembaga jasa keuangan, sehingga tercipta kesimbangan antara keuntungan dan keadilan. Toh, ketika mahasiswa itu tumbuh dengan gaya hidup yang wajar dan benar, Indonesia yang akan panen SDM unggul.

Prinsipnya kita saling menghargai ide dan upaya untuk membuka akses pendidikan tinggi bagi anak Indonesia. Namun, langkah yang lahir dari kajian kritis yang komprehensif, tetap patut untuk kita diskusikan dan dahulukan.

Sebab secara jujur, kita harus sadar, kebijakan negara ini tak boleh mengkhianati semangat para pendiri bangsa mengusir penjajah dan membangun negara bernama Indonesia.*

*) Imam Nawawi, kolomnis nasional.news dan Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)

Pos terkait