Arah Ibu Kota Nusantara Menunggu Kepastian

NN Newsroom

Kamis, 30 Oktober 2025

Desain Istana Kepresidenan di IKN dengan ikon Garuda (Foto: Dok. Kemenpar)

Spektrum bahasan

THE Guardian pada 29 Oktober 2025 menulis bahwa pendanaan negara untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) anjlok dibanding tahun sebelumnya dan memperingatkan risiko Nusantara menjadi “kota hantu” jika arah proyek tidak segera ditegaskan. Sorotan tajam media Inggris ini menempatkan masa depan IKN di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam bingkai keraguan.

Artikel itu menyebut alokasi anggaran 2025 lebih rendah dibanding 2024, sementara target investasi swasta juga belum tercapai sebagaimana direncanakan. Animo tersebut tidak berdiri sendiri. Ia menangkap kegamangan arah, ritme, dan model pembiayaan sebuah proyek raksasa yang sejak awal memerlukan kepastian politik, fiskal, dan kelembagaan.

Data resmi pemerintah menunjukkan gambaran yang perlu dibaca jernih. Kementerian Keuangan melalui rilis regional Kalimantan Timur menyebut alokasi APBN 2025 untuk pembangunan IKN sebesar sekitar Rp11,04 triliun.

Angka belasan triliun itu berada pada kisaran yang serupa dengan taksiran media internasional bila dikonversi, namun tetap menegaskan fakta paling penting, bahwa, IKN memperoleh porsi yang signifikan, meski pemerintah juga melakukan konsolidasi fiskal.

Dengan latar itu, perdebatan bukan semata ada atau tidaknya anggaran, melainkan apakah besaran, timing, dan desain pendanaan—publik, swasta, atau skema kemitraan—memadai untuk memenuhi tenggat infrastruktur dan pemindahan fungsi pemerintahan.

Di sisi lain, pemerintah pusat dan Otorita IKN menegaskan proyek ini terus berjalan. Siaran pers Otorita IKN bertanggal 28 Oktober 2025 menyatakan pembangunan “maju tanpa ragu”, merujuk antara lain pada payung perencanaan baru dan agenda integrasi perencanaan berbasis digital twin di kawasan inti pusat pemerintahan pada periode 2025–2029. Pernyataan ini penting kita maknai sebagai sinyal politik dan teknokratis, namun efektivitasnya pada akhirnya akan diukur oleh capaian fisik, penarikan investor, dan kejelasan fase pemindahan fungsi negara.

Parameter lain datang dari komitmen fiskal menengah. Awal 2025, Reuters mengutip target belanja pemerintah sekitar Rp48,8 triliun hingga 2029 untuk IKN, dengan sasaran relokasi pemerintahan pada 2028. Target ini memberi kerangka waktu, tetapi membutuhkan orkestrasi lintas sektor—pertanahan, perumahan ASN/TNI-Polri, gedung-gedung konstitusional, dan layanan dasar kota—serta disiplin anggaran di tengah prioritas lain seperti pertahanan, kesehatan, dan pangan. Tanpa manajemen proyek yang ketat dan peta jalan investasi yang kredibel, kerangka ini berisiko menjadi daftar janji tanpa daya dorong.

Dua Hal Mendesak

Dari kacamata tata kelola, dua hal kini mendesak. Pertama, kejelasan keputusan politik apakah IKN dilanjutkan penuh sebagai ibu kota administratif menggantikan Jakarta pada horizon 2028–2029, ataukah ditata ulang menjadi proyek kota baru dengan fungsi terbatas—misalnya pusat administrasi pilihan, klaster ekonomi hijau, atau hub riset—tanpa mandat pemindahan kursi pemerintahan secara total.

Menggantungkan keputusan akan menambah biaya laten seperti untuk kontrak konstruksi yang tertunda, biaya kesempatan pada lahan dan infrastruktur, serta risiko reputasi di mata investor asing yang memerlukan kepastian hak atas tanah, imbal hasil, dan jaminan layanan kota.

Kedua, jika pemerintah memutuskan lanjut, maka perlu penegasan target yang terukur dan terkomunikasikan ke publik. Target minimal mencakup paket bangunan kunci (istana, parlemen, kantor kementerian prioritas), jumlah ASN yang dipindah per tahun, kesiapan hunian dan layanan sosial, serta indikator layanan kota (air, listrik, transportasi publik) dengan tenggat triwulanan. Pemerintah telah berbicara tentang dua milestone—2025 dan 2028—tetapi kini dibutuhkan matriks kinerja yang bisa diaudit dan dilaporkan periodik, agar publik melihat kemajuan nyata alih-alih sekadar narasi optimistis.

Sebaliknya, jika pemerintah menyimpulkan bahwa kelanjutan penuh tidak realistis atau tidak prioritas fiskal, maka keputusan juga harus terang. Pemerintah perlu menyatakan status hukum dan tata ruang kawasan, tujuan kota yang baru (misalnya “kota riset kehutanan tropis dan energi terbarukan”), kerangka pembiayaan pasca-penyusutan skala, serta perlakuan atas aset yang terlanjur dibangun—agar tidak menjadi infrastruktur menganggur.

Kejelasan ini amat penting untuk melindungi kredibilitas fiskal dan mencegah persepsi pemborosan. Sorotan media internasional—seperti dari The Guardian—sebagian lahir dari ketidakpastian ini. Menutupnya dengan keputusan yang tegas akan mengubah narasi dari keraguan menjadi rasionalisasi kebijakan.

Akhirnya, basis data dan pelaporan harus bersandar pada dokumen penganggaran resmi dan capaian fisik yang dapat diverifikasi. Informasi APBN 2025 dan berbagai rilis Kementerian Keuangan menyediakan konteks ruang fiskal; sementara Otorita IKN dan Kementerian PUPR menyediakan data paket kerja, progres fisik, dan rencana tahap lanjut.

Sementara itu, catatan media internasional berfungsi sebagai cermin eksternal guna menantang asumsi, menguji konsistensi janji, dan mengukur kredibilitas proyek di mata investor global. Menggabungkan keduanya—dokumen resmi dan pelaporan independen—adalah prasyarat bagi keputusan yang legitimate dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pilihan pemerintah kini sederhana, tetapi konsekuensinya besar. Setengah hati hanya akan memperlebar jurang antara rencana dan realisasi. Keputusan tegas—lanjut dengan target yang dapat diaudit, atau alihkan mandat dengan fungsi kota yang jelas—adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri ambiguitas.

Dengan kepastian, IKN dapat bergerak dari proyek yang dipertanyakan menjadi kebijakan yang dapat diukur hasilnya. Tanpa itu, sorotan internasional akan terus menemukan alasan untuk meragukannya.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version