Badai Al-Aqsha: Hari yang Mengubah Keseimbangan Kekuatan Israel-Palestina

palestina

PADA tanggal 7 Oktober 2023, telah terjadi titik balik yang begitu mengejutkan dalam sejarah Israel, sebuah negara yang selama lebih dari 75 tahun membanggakan dirinya sebagai kekuatan militer dominan di Timur Tengah.

Israel yang terkenal dengan kekuatan militernya, senjata yang modern, dan sistem intelijen keamanan yang sangat maju, telah lama dibangga-banggakan oleh penguasanya sebagai simbol kedigjayaan militer.

Bacaan Lainnya

Namun, peristiwa pada hari itu menggugah berbagai persepsi yang telah mengakar tersebut, melahirkan babak baru dalam konflik Israel-Palestina.

Sejak awal operasi ini, pimpinan militer Hamas telah mengeluarkan deklarasi yang jelas dan tegas. Ia menguraikan bahwa operasi ini bertujuan untuk menghentikan pelanggaran Israel di Masjid Al-Aqsha, menjamin pembebasan tahanan Palestina, menghentikan pembangunan pemukiman Israel di Tepi Barat, dan mengakhiri blokade Jalur Gaza yang berkepanjangan.

Meskipun perkembangan terkini seolah belum pernah terjadi sebelumnya, ia sangatlah berakar dalam sejarah konflik Israel-Palestina yang kompleks dan bergejolak.

Untuk bisa memahami sepenuhnya arti penting dari peristiwa hari itu dan dapat membantu kita meprediksi kemungkinan yang akan terjadi nanti, kita harus mempelajari akar perjuangan yang telah berlangsung selama beberapa dekade ini.

Akar konflik ini kembali ke tahun 1947, tahun yang sangat penting sebelum terbentuknya negara Israel. Pada saat itu, masyarakat internasional mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara.

Keputusan ini mengalokasikan 80% tanah Palestina kepada Zionis yang kemudian mendirikan negara Israel dengan bantuan militer dan pelatihan dari kerajaan Inggris.

Sebaliknya, penduduk lokal Palestina, yang sebagian besar terlibat dalam pertanian, dijanjikan 20% sisanya dari tanah leluhur mereka untuk membentuk negara berdaulat—janji yang selama ini tak pernah terwujud.

Fakta sejarah ini menanam akar konflik yang telah berjalan selama lebih dari tujuh dekade dan menyiapkan panggung bagi peristiwa dramatis yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2023.

Selama 75 tahun terakhir, Israel terlibat dalam konfrontasi militer terus-menerus melawan Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Sementara itu pula, Israel mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan militer yang dominan di Timur Tengah dan mereka mendirikan basis ekonomi yang kuat.

Sebagai negara ‘demokratis’ modern, Israel telah mengundang orang-orang Eropa, terutama para pemudanya, untuk bermigrasi ke Israel tanpa memandang latar belakang pendidikan dengan menawarkan berbagai prospek peluang ekonomi.

Sebagai ganti atas kesempatan istimewa ini, termasuk janji mendapatkan kewarganegaraan dan paspor, para imigran ini diwajibkan untuk bertugas di angkatan bersenjata Israel dan seringkali ikut serta dalam operasi militer melawan Palestina yang bertujuan mengusir orang-orang Palestina dari tanah mereka.

Sejak perlawanan Palestina pertama pada tahun 1987, prajurit Israel secara konsisten mempertahankan kehadiran pos-pos pemeriksaan di wilayah Palestina, memberlakukan rutinitas inspeksi dan memperlakukan warga Palestina dengan merendahkan mereka.

Periode ini ditandai dengan konfrontasi yang kerap terjadi, di mana para pemuda Palestina sering kali terpaksa melawan dengan lemparan batu dan menjumpai syahid sebagai akibatnya.

Keharusan terlibat dalam upaya menjaga keamanan Israel pada pos-pos pemeriksaan sehari-hari sangatlah berbeda dengan motif ekonomi kedatangan kebanyakan imigran Israel pada awalnya.

Karakter penjagaan pos pemeriksaan sebagaimana kerja seorang satpam berkontribusi pada minimnya sesungguhnya kemampuan individu-individu ini dalam berperang.

Di sisi lain, warga Palestina yang hidup di bawah bayang-bayang blokade Gaza dan sistem apartheid yang tidak adil di Tepi Barat, menghadapi penghinaan setiap hari dan harus berjuang sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Mereka melihat prajurit Israel sebagai penjajah dan penindas, bertanggung jawab atas rasa sakit dan penderitaan akibat penyerobotan tanah yang terus berlangsung.

Di tengah kesulitan inilah, Palestina mengorganisir perlawanan mereka terhadap kependudukan Israel.

Didorong oleh rasa kewajiban yang mendalam dan keyakinan pada tujuan mereka, terutama di bawah pandangan iman mereka, mereka telah menunjukkan ketahanan dan tekad luar biasa dalam perjuangan mereka.

Taufan Al-Aqsha

Operasi Badai Al-Aqsha (Taufan Al-Aqsha) menghadirkan kehinaan dan kekalahan yang tidak terduga bagi pasukan Israel. Ianya menggemparkan dunia, terutama dengan beredarnya video-video secara luas di media sosial.

Guna menjaga citra mereka sebagai negara militer superpower di Timur Tengah, pemimpin Israel beralasan bahwa kekalahan mereka itu hanyalah disebabkan serangan yang tiba-tiba.

Mereka kemudian secara resmi menyatakan dimulainya perang militer massal tanpa henti terhadap Gaza dengan tiga tujuan utama, yaitu memaksa pemindahan penduduk Gaza ke gurun Sinai di Mesir, memusnahkan Hamas, dan gerakan perlawanan Palestina lainnya, serta membebaskan tahanan Israel.

Hasilnya, AS, Prancis, Jerman, Inggris, dll., memberikan dukungan politik dan militer kepada Israel. Mereka mengirimkan kapal nuklir, kapal perang militer, senjata canggih, dan personel.

Israel menggunakan serangan udara dan invasi darat, menempatkan tank teknologi tinggi, peralatan militer, dan berbagai jenis amunisi kimia dan fosfor yang sesungguhnya terlarang.

Namun demikian, hingga kini, setelah berlangsung sekitar dua setengah bulan, Israel dan sekutunya tetap tidak dapat mencapai satu pun tujuan yang mereka gariskan.

Sementara itu, Hamas dan gerakan perlawanan Palestina lainnya secara teratur merilis video-video yang menunjukkan pejuang mereka terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Israel, meledakkan tank, meledakkan terowongan yang dipenuhi bom, dan menculik pasukan Israel dari medan pertempuran.

Pasca-operasi militer Israel terbaru terhadap Palestina, analisis kritis mengungkapkan bahwa outcomenya yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.

Meskipun Israel memiliki keunggulan senjata dan militer, yang mereka capai tak lebih dari penghancuran infrastruktur Palestina, termasuk rumah-rumah, universitas, rumah sakit, sekolah, masjid, dan lain sebagainya.

Mereka juga melakukan kejahatan perang biadab dengan pembantaian dan pembunuhan lebih dari 19.000 warga sipil Palestina, yang sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak.

Sebaliknya, pejuang Palestina, yang dilengkapi dengan peralatan buatan sendiri, berhasil menghancurkan persepsi tentang prajurit Israel. Iman dan tekad mereka yang mendalam menjadi kunci dalam mengejar apa yang mereka anggap sebagai aspirasi bangsa Palestina.

Tekad Rakyat Palestina

Tekad luar biasa warga Palestina untuk melawan pendudukan telah membuat pemimpin Israel mengakui kegagalan mereka dalam meruntuhkan semangat rakyat Palestina.

Hal ini memaksa penguasa Israel, yang selama ini menentang solusi apapun dengan Palestina, untuk dengan terpaksa menerima gencatan senjata, melepaskan tahanan Palestina, dan lain-lain.

Meskipun politisi Israel melihat kesepakatan itu sebagai kegagalan Palestina, Palestina menganggapnya sebagai awal kemenangan yang luar biasa, karena berhasil memaksa Israel untuk mengakui restorasi hak-hak Palestina di masa depan.

Konflik ini akan berujung dengan dua kemungkinan, di mana masing-masing memiliki konsekuensi tersendiri.

Kemungkinan pertama adalah bahwa Israel, menghadapi kekalahan nyata, akan membuka jalan untuk perundingan, yang berpotensi mengakui dan memenuhi hak-hak Palestina sebagaimana dinyatakan oleh masyarakat internasional pada tahun 1947. Perkembangan seperti ini bisa berakhir dengan berdirinya negara Palestina.

Kemungkinan yang kedua, jika Israel tidak bersedia terlibat dalam perundingan atau melepaskan posisinya yang dominan terhadap Palestina, konflik akan terus berlanjut dan bisa terjadi eskalasi menjadi perang yang lebih besar, yang mungkin melibatkan seluruh wilayah Timur Tengah.

Saat ini dunia menyaksikan bahwa ada dua jalur berbeda yang tampak. Baik konflik ini berakhir dalam dialog dan perdamaian atau bertambah buruk dan berujung kepada pertempuran, bangsa Palestina yakin bahwa kehilangan yang akan terjadi kepada mereka tidak akan melebihi apa yang sudah mereka alami.

Dan, bangsa Palestina akan tetap teguh dalam perlawanan mereka, meyakini bahwa masa depan mereka akan jauh lebih cerah daripada situasi yang terjadi saat ini.[]

*) DR. IYAD EID, Departemen Sosiologi dan Antropologi, Universitas Islam Internasional Malaysia dan DR. Ali Sophian, Departemen Mekatronika, Universitas Islam Internasional Malaysia

Pos terkait