MALAM itu, diiringi dentang jam yang menunjukkan pukul 23.03, perjalanan pulang dari Pasar Minggu terhenti oleh bisikan tak kasat mata bahwa ada yang tak beres. Keseimbangan motor oleng, lajunya tak stabil. Benar saja, ban belakangku kempes, bagai balon yang kehilangan udara.
Syukurlah, tak jauh dari situ, sebuah bengkel kecil masih setia menemani malam. Cahayanya yang redup bagai mercusuar di tengah samudra kegelisahan. Tanpa ragu, aku putar arah, menuju kehangatan bengkel itu.
Di sana, aku bertemu Mang Ujang, pria bersahaja yang baru saja menjejakkan kaki di Jakarta untuk mengadu nasib. Di bawah sinar lampu neon yang temaram, tangannya yang cekatan menambal ban motorku yang bocor.
Tak lama kemudian, Bang Hisan, sang pemilik bengkel, datang. Sosoknya yang ramah dan penuh tawa langsung menyapa.
Aku pun menceritakan keadaanku, dan Bang Hisan dengan sigap menawarkan untuk mengganti kampas rem belakang yang sudah tipis.
Di sela-sela kesibukannya, Bang Hisan berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya. Cerita tentang perjuangannya merawat orangtuanya yang terserang stroke.
Mata Bang Hisan berkaca-kaca saat menceritakan bagaimana ia harus membagi waktu antara mengurusi bengkel dan merawat orangtuanya.
Dua saudaranya yang lain, meskipun mapan secara ekonomi, tak sanggup mengambil tanggung jawab ini. Bang Hisan, yang dulunya dianggap anak bandel, kini menjadi tumpuan harapan kedua orangtuanya.
“Dulu, saya memang anak yang kurang patuh,” akunya. “Sering mengembara, tak peduli dengan orangtua.”
Namun, takdir berkata lain. Kini, dialah yang dengan penuh kasih sayang merawat orangtuanya. Keajaiban pun datang silih berganti, bagai hadiah atas baktinya. Urusannya dimudahkan, rezekinya mengalir lancar, dan bahkan terhindar dari beberapa musibah maut.
“Tak ada yang lebih utama selain berbakti kepada orangtua,” pesan Bang Hisan. “Dalam kondisi apapun. Karena ridho Allah ada di tangan mereka.”
Benarlah kata Bang Hisan. Seringkali kita mencari berkah di luar sana, mencium tangan para Habib dan Kyai, namun mengabaikan orangtua yang duduk di dekat kita.
Kisah Bang Hisan bagai tambalan ban yang tak hanya menutup lubang bocor, tapi juga membuka mata hatiku. Bahwa di balik kesederhanaan, terukir kisah inspiratif tentang bakti dan kasih sayang.
Cerita Bang Hisan bagaikan bisikan jernih yang menetes sejuk ke sanubari ditengah malam Jakarta yang tak pernah mati. Aku hanyut dalam kisah Bang Hisan diantara kebisingan lalu lalang kendaraan.
Hikmah yang dapat dipetik dari kisah Bang Hisan ini adalah bahwa jangan pernah memandang rendah orang lain. Keterbatasannya hari ini mungkin ujian dari Allah untuk kehidupan yang lebih baik.
Berbakti kepada orangtua adalah hal yang paling utama dan mulia. Kasih sayang dan ridho Allah dapat diraih dengan bakti seorang anak.
Ridho Allah ada di tangan orangtua. Berbaktilah kepada mereka, bahagiakan mereka, karena di situlah kunci kebahagiaan dan keberkahan hidup.
Marilah kita jadikan kisah Bang Hisan sebagai inspirasi untuk selalu berbakti kepada orangtua. Karena merekalah harta yang tak ternilai harganya.
رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ
“Ridho Allah SWT bergantung dari ridho kedua orang tua dan kemurkaan Allah SWT bergantung dari kemurkaan orang tua,” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim)
*) Adam Sukiman, penulis adalah khatib dan edukator masyarakat muda Jakarta