Mendikdasmen RI Abdul Mu’ti Ingatkan Risiko Degenerasi Agama Tanpa Dakwah Empatik

NN Newsroom

Kamis, 2 Oktober 2025

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti (Foto: Dok. Muhammadiyah)

NASIONAL.NEWS — Fenomena meningkatnya minat anak muda terhadap agnostisisme dan spiritualisme menjadi tantangan baru bagi dunia dakwah. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa pendekatan dakwah kepada generasi muda hendaknya dilakukan secara lebih kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka.

“Dakwah kepada generasi muda diharapkan lebih kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, bahkan perlu juga untuk menyetarakan pilihan bahasa dan tampilan dengan anak muda sehingga mereka lebih terasosiasi,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (1/10/2025).

Abdul Mu’ti yang juga Guru Besar Pendidikan Agama Islam melihat adanya kecenderungan dakwah tradisional yang menekankan ceramah satu arah. Padahal, menurutnya, generasi muda lebih ingin didengar daripada sekadar mendengar.

“Kita seringkali mengajak anak-anak menjadi baik, kadang-kadang tidak nyambung dengan kehidupan mereka,” katanya. Oleh karena itu, ia mendorong lahirnya ustaz atau agen dakwah yang mampu mendengar dengan empati.

Temuan PEW Research Center

Merujuk data PEW Research Center tahun 2015, Mu’ti mengungkapkan bahwa jumlah penganut agnostisisme dan ateisme menempati posisi ketiga dan keempat terbanyak di dunia.

Ia menilai tren ini lebih mencerminkan pergeseran orientasi religius. “Trennya sekarang bukan agama, tetapi spiritualisme. Mereka mengakui spiritualisme, tetapi tidak harus terikat dengan agama,” jelasnya.

Mu’ti menilai, jika pola dakwah tidak menyesuaikan diri dengan realitas sosial, maka yang terjadi adalah keterputusan generasi dengan agama, atau yang ia sebut sebagai “degenerasi diniyah.” Hal ini menjadi risiko serius bila dakwah gagal merespons kebutuhan batin, bahasa, dan gaya hidup generasi muda.

Karena itu, ia menegaskan pentingnya relevansi bahasa, narasi, bahkan simbol yang digunakan dalam dakwah agar bisa masuk ke ruang keseharian anak muda.

“Allah itu kan mengutus Rasul sesuai bahasa kaumnya. Agar degenerasi agama tidak terjadi, maka kita harus menjadi pendengar yang penuh empati, dekat dengan mereka,” tambahnya.

Teladan Kiai Ahmad Dahlan

Bagi warga Muhammadiyah, Mu’ti menilai model dakwah Kiai Ahmad Dahlan patut diteladani. Sang pendiri Muhammadiyah dikenal dekat dengan kaum muda, mampu berdialog secara egaliter, dan menghadirkan agama dalam konteks kehidupan nyata. Dengan kedekatan itu, angka keberhasilan penyampaian pesan keagamaan jauh lebih tinggi.

Lebih praktis, Mu’ti menekankan perlunya menghadirkan agama dengan cara yang sesuai dengan minat dan bakat anak muda. Ia menyebut bahwa dakwah bukan semata-mata tentang kewajiban ritual, tetapi juga tentang penguatan mental dan karakter.

“Agar hidup anak muda terarah sesuai dengan pesan agama, maka yang perlu dilakukan adalah menghadirkan agama sesuai dengan kehidupan anak muda – related dengan minat dan bakat,” ujarnya.

Menurutnya, dalam konteks sekarang, pendakwah bisa masuk ke ruang anak muda melalui kebiasaan sehari-hari, termasuk aktivitas yang dekat dengan hobi dan komunitas mereka. Dengan cara itu, pesan agama tidak hadir secara kaku, melainkan mengalir alami sesuai dinamika kehidupan remaja dan pemuda.

Fenomena merebaknya tren agnostik dan spiritualisme di kalangan anak muda, bagi Mu’ti, bukan berarti agama kehilangan relevansi. Justru, hal itu menjadi alarm bahwa cara berdakwah perlu diadaptasi agar lebih membumi. Dakwah yang mendengarkan, berempati, dan berbicara dengan bahasa anak muda diyakini dapat memperkuat ikatan generasi baru dengan nilai-nilai agama.

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version