Benarkah Indonesia dijajah 350 tahun oleh Belanda? jika benar demikian, kenapa kok orang Indonesia tak bisa bahasa Belanada? Pertanyaan ini sebenarnya menyimpan kompleksitas sejarah yang tak bisa dijawab hanya dengan melihat permukaan. Kita perlu menggali lebih dalam, menelusuri jejak sejarah kolonialisme, kebijakan pendidikan, serta dinamika sosial yang berkembang selama masa penjajahan. Mari kita telusuri lebih jauh, mengapa warisan bahasa Belanda tidak tertanam kuat di masyarakat Indonesia, berbeda dengan bahasa Inggris di India atau Filipina, yang sama-sama mengalami kolonialisasi oleh bangsa Eropa.
1. Kebijakan Pendidikan yang Diskriminatif
Salah satu faktor utama yang memengaruhi minimnya penguasaan bahasa Belanda di kalangan rakyat Indonesia adalah kebijakan pendidikan yang sangat diskriminatif. Selama masa kolonial, akses pendidikan formal yang diajarkan dalam bahasa Belanda sangat terbatas dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan elit, khususnya mereka yang berasal dari golongan priyayi atau bangsawan, serta kaum keturunan campuran (Indo-Eropa).
Sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, seperti Europeesche Lagere School (ELS) atau Hollandsche Inlandsche School (HIS), adalah sekolah-sekolah yang berorientasi untuk anak-anak kaum elite pribumi atau keturunan Eropa. Hanya segelintir rakyat pribumi yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah ini, sementara mayoritas rakyat Indonesia tetap berada di luar sistem pendidikan formal yang diatur oleh Belanda.
Kebijakan ini bukanlah kebetulan, melainkan strategi kolonial yang sengaja dirancang untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan menjaga bahasa Belanda sebagai bahasa eksklusif, Belanda berusaha memastikan bahwa akses terhadap pengetahuan, kekuasaan, dan status sosial tetap berada di tangan sekelompok kecil orang yang setia kepada mereka. Alhasil, bahasa Belanda tidak menyebar luas di kalangan rakyat jelata, karena dianggap sebagai bahasa “penguasa” yang tidak relevan bagi kehidupan sehari-hari.
2. Penggunaan Bahasa Belanda Terbatas pada Lingkungan Administrasi dan Pemerintahan
Bahasa Belanda memang digunakan secara resmi dalam administrasi pemerintahan kolonial, hukum, dan perdagangan, tetapi penggunaannya tetap terbatas pada lingkungan yang formal dan birokratis. Orang-orang yang bekerja di sektor-sektor ini, seperti pegawai negeri, pengacara, atau pedagang yang berurusan langsung dengan pemerintah kolonial, mungkin menguasai bahasa Belanda. Namun, mereka hanya merupakan sebagian kecil dari populasi Indonesia yang sangat besar.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, kehidupan sehari-hari mereka tidak bersinggungan langsung dengan pemerintah kolonial. Mereka berbicara dalam bahasa daerah masing-masing atau dalam bahasa Melayu, yang sudah menjadi bahasa pergaulan umum di Nusantara jauh sebelum kedatangan Belanda. Bahasa Melayu, yang kemudian menjadi dasar bahasa Indonesia, jauh lebih relevan bagi mereka karena digunakan dalam perdagangan, komunikasi antar suku, dan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Dalam banyak hal, bahasa Belanda tetap menjadi bahasa “asing” yang hanya digunakan oleh segelintir orang yang memiliki hubungan langsung dengan pemerintah kolonial. Bahkan di kalangan priyayi dan elite yang bisa berbahasa Belanda, bahasa ini seringkali hanya digunakan dalam konteks formal atau sebagai simbol status, sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka lebih nyaman menggunakan bahasa daerah atau bahasa Melayu.
3. Perlawanan Budaya dan Keinginan untuk Menjaga Identitas Lokal
Alasan lain mengapa bahasa Belanda tidak menyebar luas di Indonesia adalah karena adanya perlawanan budaya secara halus dari rakyat Indonesia. Meskipun tidak selalu berbentuk perlawanan terbuka, banyak rakyat Indonesia yang menolak untuk mengadopsi bahasa Belanda karena mereka ingin mempertahankan identitas budaya dan bahasa mereka sendiri.
Bahasa sering kali dianggap sebagai cerminan identitas nasional dan budaya. Oleh karena itu, mengadopsi bahasa penjajah dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap jati diri dan budaya lokal. Meskipun kolonialisme berusaha untuk mengubah berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahasa adalah salah satu elemen yang paling sulit untuk diubah secara paksa.
Sebagai contoh, pada awal abad ke-20, muncul gerakan kebangkitan nasional di Indonesia yang secara sadar menolak dominasi bahasa dan budaya Belanda. Para pemimpin pergerakan nasional, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi politik dan perlawanan. Mereka memahami bahwa bahasa adalah alat yang sangat efektif untuk menyatukan bangsa dan membangun kesadaran nasional.
Deklarasi Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, adalah salah satu contoh nyata dari upaya sadar untuk menolak bahasa Belanda dan mempromosikan bahasa yang lebih inklusif dan mencerminkan identitas nasional. Pilihan untuk mengutamakan bahasa Indonesia, yang berbasis pada bahasa Melayu, adalah langkah strategis untuk membangun kesatuan bangsa dan mengurangi pengaruh bahasa Belanda.
4. Kurangnya Integrasi Sosial antara Belanda dan Pribumi
Selama masa kolonial, ada pemisahan sosial yang sangat jelas antara orang Belanda dan pribumi. Kebijakan segregasi sosial ini menciptakan jarak yang signifikan antara kedua kelompok, baik secara fisik maupun budaya. Orang Belanda tinggal di lingkungan yang terpisah, memiliki sekolah sendiri, dan bahkan memiliki sistem hukum yang berbeda.
Interaksi sosial antara Belanda dan pribumi sangat terbatas, sehingga tidak ada dorongan alami bagi rakyat Indonesia untuk mempelajari bahasa Belanda. Sebaliknya, orang Belanda juga tidak merasa perlu untuk mempelajari bahasa pribumi karena mereka hidup dalam “gelembung” sosial mereka sendiri, di mana bahasa Belanda adalah bahasa yang dominan.
Ini sangat berbeda dengan situasi di koloni-koloni lain seperti India, di mana ada lebih banyak interaksi sosial antara penjajah dan rakyat setempat, yang menyebabkan bahasa Inggris lebih mudah menyebar. Di Indonesia, ketidakmampuan atau ketidakmauan Belanda untuk berintegrasi dengan masyarakat pribumi turut memperkuat jurang linguistik antara kedua kelompok ini.
5. Kemunculan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Pada akhirnya, salah satu faktor paling penting yang menjelaskan mengapa bahasa Belanda tidak bertahan di Indonesia adalah kemunculan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang dipilih oleh para pemimpin nasionalis untuk menyatukan bangsa ini.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, bahasa Indonesia diadopsi sebagai bahasa resmi negara dan digunakan dalam semua aspek kehidupan nasional, termasuk pendidikan, pemerintahan, dan media. Bahasa Belanda, sebaliknya, mulai kehilangan relevansinya seiring dengan berkurangnya pengaruh kolonial.
Pada awal kemerdekaan, bahasa Indonesia mendapatkan dorongan besar melalui kebijakan pendidikan nasional yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan. Ini memperkuat posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang tidak hanya menghubungkan berbagai kelompok etnis di Indonesia, tetapi juga menjadi simbol kebebasan dan kemerdekaan dari penjajahan.
6. Dampak Pasca-Kemerdekaan
Pasca-kemerdekaan, penggunaan bahasa Belanda semakin menurun drastis. Meskipun ada sebagian kecil populasi yang masih bisa berbahasa Belanda, terutama di kalangan generasi tua atau mereka yang pernah bekerja dalam pemerintahan kolonial, jumlahnya terus menyusut. Generasi baru lebih fokus pada bahasa Indonesia dan, dalam beberapa dekade terakhir, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang lebih berguna dalam konteks global.
Di bidang hukum dan akademik, yang sebelumnya banyak menggunakan bahasa Belanda, telah terjadi transisi besar-besaran ke bahasa Indonesia. Dokumen-dokumen hukum dan akademik yang dulu ditulis dalam bahasa Belanda telah diterjemahkan, dan generasi baru pengacara serta akademisi Indonesia belajar dan bekerja dalam bahasa Indonesia.
Namun, jejak bahasa Belanda tidak sepenuhnya hilang. Kita masih bisa melihatnya dalam beberapa istilah hukum, nama-nama tempat, dan kata-kata yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, pengaruh bahasa Belanda ini tidak sampai pada tahap di mana ia menjadi bahasa yang dipertuturkan secara luas oleh rakyat Indonesia.
7. Kesimpulan: Bahasa dan Identitas Nasional
Jadi, mengapa orang Indonesia, setelah dijajah ratusan tahun, tidak bisa bahasa Belanda? Jawabannya terletak pada kombinasi faktor-faktor sejarah, sosial, dan budaya. Kebijakan pendidikan kolonial yang diskriminatif, keterbatasan penggunaan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari, serta keinginan rakyat Indonesia untuk mempertahankan identitas mereka melalui bahasa lokal, semuanya berkontribusi pada minimnya penyebaran bahasa Belanda di Indonesia.
Selain itu, kemunculan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan simbol identitas nasional memainkan peran krusial dalam menggeser bahasa Belanda ke pinggiran. Bahasa Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat perjuangan dan simbol kebebasan. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah bangsa, meskipun dijajah selama berabad-abad, berhasil menjaga dan membentuk identitasnya sendiri melalui bahasa.
Warisan bahasa Belanda di Indonesia mungkin tidak terlihat dalam jumlah orang yang bisa berbicara bahasa tersebut, tetapi jejaknya masih ada dalam sejarah, hukum, dan budaya Indonesia. Ini adalah pengingat bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan dari sejarah dan perjuangan sebuah bangsa.