Iqra’ Bismirabbik Mentautkan Literasi, Iman, dan Aksi Sosial

NN Newsroom

Sabtu, 21 Juni 2025

Acara diskusi dalam kegiatan "Kopi Literasi Nyalakan Aksi" gelaran Komunitas Emas Jakarta dan Masjid Baitul Karim, Cipinang Cempedak, Otista, Jakarta Timur pada malam Minggu, 21 Juni 2025 (Foto: dok. Mhd Zuhri Fadhlullah)

DI TENGAH hiruk pikuk kesibukan malam Jakarta yang tiada matinya, kegiatan “Kopi Literasi Nyalakan Aksi” yang digelar Komunitas Emas Jakarta dan Masjid Baitul Karim, Cipinang Cempedak, Otista, Jakarta Timur pada malam Minggu (21/6/2025), ini menyuguhkan oase reflektif.

Di saat banyak anak muda memilih hiburan ringan, komunitas ini justru menghadirkan literasi sebagai sarana perenungan, pemberdayaan, dan penguatan spiritualitas.

Teras Masjid sebagai Ruang Literasi Progresif

Acara dimulai selepas Maghrib dan berlangsung hingga ba’da Isya. Narasumber utama, Mas Imam Nawawi, membuka ruang tafakur literasi dengan mengangkat satu diksi utama dalam Islam: “Iqra’ bismirabbik”—bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.

“Acara Kopi Literasi Nyalakan Aksi ini perayaan akal dan iman dalam satu tarikan napas,” ujar Imam, seraya menyebut kegiatan ini sebagai bentuk “syukur sosial” yang dibalut dengan pembacaan kritis realitas.

Literasi menurut Imam bukan sekadar keterampilan membaca dan menulis. Ia adalah jalan menuju kesadaran spiritual dan transformasi sosial.

“Tanpa basis bismirabbik, literasi hanya menjadi pengumpulan data, bukan pencerahan jiwa,” katanya, dalam acara yang dipandu Ketua Emas Jakarta, Adam Sukiman ini.

Dari Wahyu Pertama hingga Tradisi Ulama

Dalam tradisi Islam, literasi adalah pangkal segala keutamaan. Wahyu pertama dalam Islam adalah kata kerja “iqra’”, bukan “sholli” (salat) atau “tasaddaq” (bersedekah). Hal ini, menurut Imam Nawawi, menunjukkan betapa Islam menempatkan literasi sebagai fondasi wahyu, iman, dan dakwah.

Literatur klasik Islam seperti “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an” karya Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat pertama dalam Surah Al-‘Alaq sebagai seruan untuk membaca bukan hanya teks, tapi juga ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda alam semesta).

Begitu pula dalam “Ihya Ulumuddin” karya Imam Al-Ghazali, disebutkan bahwa ilmu (dan proses membacanya) adalah cahaya kehidupan hati.

Imam Al-Ghazali mengatakan, ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.

Dalam konteks hari ini, bisa dikatakan, bahwa, literasi tanpa orientasi spiritual dan etika sosial hanya akan menambah kebisingan informasi, bukan mencerdaskan umat.

Di Mana Kita Berdiri?

Sayangnya, meski kaya tradisi ilmiah, posisi Indonesia dalam indeks literasi global masih mengkhawatirkan.

Berdasarkan World’s Most Literate Nations 2016 yang disusun oleh Central Connecticut State University, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Posisi ini bahkan di bawah Thailand dan Malaysia.

Sementara itu, data UNESCO dan World Bank 2022 menunjukkan bahwa sekitar 55% siswa Indonesia usia 15 tahun tidak dapat memahami teks bacaan tingkat dasar. Artinya, lebih dari setengah generasi muda Indonesia mengalami “butaliterasi fungsional”.

Fakta ini membuat kegiatan seperti “Kopi Literasi Nyalakan Aksi” menjadi penting. Ia bukan hanya respons terhadap krisis, tapi juga usaha kolektif membangun “literasi ruhani” yang melampaui sekadar kemampuan membaca—menuju kesadaran.

Menjadi Bangsa yang Melek Literasi Imani

Dalam paparannya, Imam Nawawi menekankan pentingnya membangun bangsa beradab melalui penguatan literasi yang dilandasi iman.

“Bangsa yang berperadaban, kokoh dan bermartabat, adalah bangsa yang literasinya kokoh—jiwa dan pikirannya berlandaskan Iqra’ bismirabbik,” katanya.

Beliau mencontohkan situasi global seperti konflik Iran-Israel, yang memunculkan kebingungan informasi di tengah masyarakat.

Menurutnya, masyarakat dengan literasi rendah akan mudah termakan disinformasi dan propaganda. “Mereka gagal memilah mana fakta, mana framing,” jelasnya.

Karena itu, ia mengajak para peserta untuk menjadikan literasi sebagai senjata melawan kebodohan kolektif. “Saring sebelum sharing bukan sekadar slogan. Itu akhlak literasi,” ucapnya.

Kisah Bilal dan Daya Transformasi Literasi

Salah satu momen reflektif dalam ngopi literasi malam mingguan ini adalah ketika Imam Nawawi mengangkat kisah sahabat Bilal bin Rabah.

Sosok Bilal, seorang budak yang tak berpendidikan formal, mampu bersyahadat lantang di tengah siksaan karena kekuatan iqra’ ruhaniyah—pembacaan hati terhadap kebenaran iman.

“Bilal mungkin tak bisa baca teks, tapi dia membaca kebenaran dengan jiwanya. Itu literasi hakiki,” ujar Imam. Di tengah era gadget dan gelombang informasi, lanjutnya, justru banyak yang gagal ‘membaca’ realitas sosial dan spiritual mereka sendiri.

Dari Teras Masjid ke Denyut Bangsa

Bagi saya, acara “Kopi Literasi Nyalakan Aksi” ini bukanlah sekadar kegiatan komunitas biasa.

Ia adalah upaya membangun basis baru dalam gerakan literasi nasional—bukan berbasis formalitas atau angka statistik semata, tetapi pada keutuhan ruh, akal, dan etika.

Kegiatan ini memberi pesan kuat bahwa literasi tidak harus elit. Ia bisa tumbuh dari teras masjid, warung kopi, atau balai warga.

Yang penting adalah orientasinya: mencerdaskan, membebaskan, dan menghidupkan semangat iqra’ bismirabbik.

Dalam era informasi yang banjir namun dangkal seperti yang menjejali kita hari hari kita, suara-suara seperti ini justru menjadi jembatan untuk membangun bangsa yang tangguh, bangsa pembaca, bangsa beriman, bangsa beradab.*/

*) Mhd Zuhri Fadhlullah, penulis peserta acara “Kopi Literasi Nyalakan Aksi”

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version