KETIKA Presiden Prabowo Subianto menduduki kursi terhormat dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Brasil, pada 6 Juli 2025, dunia menyaksikan sebuah momen bersejarah.
Untuk pertama kalinya, Indonesia tidak lagi menjadi pengamat atau mitra dialog dalam forum kekuatan ekonomi Global Selatan itu.
Indonesia hadir sebagai anggota penuh, resmi bergabung bersama Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan sejumlah anggota baru seperti Mesir, Iran, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.
Keanggotaan penuh Indonesia di BRICS telah dimulai sejak 1 Januari 2025, hasil dari keputusan yang diambil dalam KTT Johannesburg pada 2023.
KTT di Rio de Janeiro menjadi debut konkret kehadiran Indonesia dalam panggung besar tersebut. Dan kehadiran Prabowo Subianto, sebagai presiden baru Indonesia, memberikan penekanan simbolik dan politis yang kuat.
Prabowo hadir bukan sekadar sebagai kepala negara. Ia datang membawa mandat diplomatik untuk membangun jembatan antarnegara Selatan, dan membawa serta harapan banyak pihak bahwa Indonesia dapat menjadi kekuatan moral dan strategis dalam dinamika dunia multipolar yang tengah berkembang.
Dalam forum itu, Prabowo menggemakan seruan untuk kerja sama global yang lebih adil, lebih setara, dan lebih inklusif. Ia menegaskan bahwa BRICS bukan hanya blok ekonomi tandingan Barat, melainkan platform untuk menyuarakan keadilan, perdamaian, dan pembangunan yang tidak bergantung pada dikte kekuatan hegemonik.
Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung secara khusus krisis kemanusiaan di Gaza dan pentingnya dukungan kolektif terhadap hak bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Bersama para pemimpin BRICS lainnya, Indonesia menandatangani Rio Declaration, sebuah pernyataan bersama yang mengecam serangan terhadap warga sipil di Palestina, menyerukan gencatan senjata, dan menekankan pentingnya solusi dua negara.
Dalam pernyataan itu juga terkandung sikap BRICS terhadap reformasi Dewan Keamanan PBB, transparansi dalam sistem keuangan global, serta kritik terhadap kebijakan tarif proteksionis yang kembali mencuat di bawah pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat.
Kehadiran Prabowo dalam forum itu juga menjadi ujian pertama kepemimpinan internasionalnya. Namun, ia tidak datang dengan tangan kosong.
Jauh sebelum menjabat presiden, saat masih menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo dikenal sebagai salah satu tokoh nasional yang aktif menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.
Ia secara pribadi menyumbang dana kemanusiaan, dan TNI di bawah kepemimpinannya mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Hal ini menjadikan posisi Indonesia bukan hanya formal, tetapi juga legitim secara moral di mata banyak negara anggota BRICS yang selama ini menganggap isu Palestina sebagai simbol ketidakadilan global.
Di tengah stagnasi diplomasi PBB dan ketidakefektifan G7 dalam merespons kekerasan di Timur Tengah, posisi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia membawa bobot moral yang tidak bisa diabaikan.
BRICS pun, yang sebelumnya lebih banyak fokus pada isu ekonomi dan finansial, kini mulai membuka ruang untuk agenda-agenda politik dan kemanusiaan. Indonesia menjadi katalis dalam perluasan fokus tersebut.
Tantangan dalam Konsensus Baru
Namun, menjadi anggota penuh BRICS bukan berarti tanpa tantangan. Forum ini kini terdiri dari 11 negara dengan kepentingan strategis yang beragam. Dari Iran yang berseteru dengan AS dan Israel, hingga Brasil yang cenderung pragmatis dan Afrika Selatan yang mendorong agenda hak asasi manusia. Di sinilah peran Indonesia sebagai penyeimbang akan sangat menentukan.
Indonesia memiliki modal untuk memainkan peran sebagai honest broker. Sebagai negara demokrasi yang relatif stabil, dengan posisi geopolitik strategis di Indo-Pasifik dan koneksi kuat dengan ASEAN serta dunia Islam, Indonesia bisa menjadi mediator dalam isu-isu pelik seperti reformasi Dewan Keamanan PBB, tata kelola keuangan global, hingga konflik bersenjata di Timur Tengah.
Khusus dalam isu Palestina, Indonesia bisa mendorong agar BRICS tidak berhenti pada retorika. Indonesia dapat mengusulkan pembentukan working group BRICS untuk Palestina, memfasilitasi bantuan kemanusiaan kolektif, bahkan mendukung investigasi independen terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Gaza.
Diplomasi Multipolar
KTT BRICS 2025 juga menandai semakin menguatnya pola dunia multipolar. Di saat Barat semakin terfragmentasi, dan AS di bawah Trump menghidupkan kembali proteksionisme, BRICS tumbuh sebagai poros alternatif yang lebih inklusif.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus bijak meniti jalannya sendiri, tidak terseret dalam rivalitas China vs Barat, namun tetap memegang prinsip non-blok yang aktif.
Indonesia harus cerdas memanfaatkan BRICS untuk memperluas kerja sama teknologi, energi, pangan, dan militer, sambil menjaga stabilitas kawasan melalui kemitraan ASEAN dan hubungan baik dengan G7.
Pada akhirnya, kehadiran Prabowo di KTT BRICS 2025 di Rio de Janeiro kita maknai bukan sekadar penampilan simbolik. Ini adalah permulaan dari arah baru kebijakan luar negeri Indonesia.
Sebagai anggota penuh, Indonesia kini memiliki panggung yang lebih besar untuk menyuarakan kepentingannya dan membawa suara Global Selatan ke meja dunia.
Isu Palestina menjadi titik uji pertama dan paling krusial. Jika berhasil menjembatani solidaritas politik dan aksi nyata, Indonesia tidak hanya akan dikenang sebagai anggota BRICS, tetapi sebagai pemimpin moral dalam dunia yang sedang mencari arah.[]
EDITORIAL NASIONAL.NEWS