Ujian Konsistensi Indonesia Melawan Penjajahan di Panggung Dunia

NN Newsroom

Kamis, 19 Juni 2025

Ilusrasi perang bom balistik (Foto: Celebrity_Tak/ X)

KONFLIK bersenjata terbaru antara Israel dan Iran memunculkan gelombang ketegangan baru di kawasan Timur Tengah, sekaligus memaksa banyak negara, termasuk Indonesia, untuk menentukan posisi diplomatik yang jelas dan terukur.

Eskalasi ini bukan sekadar pertikaian dua negara, melainkan bagian dari rangkaian panjang konflik geopolitik global yang melibatkan kepentingan kekuatan besar dunia, dari Amerika Serikat hingga Rusia, dari Eropa hingga negara-negara Teluk.

Serangan udara balasan, sabotase fasilitas militer, hingga serangan siber antara Tel Aviv dan Teheran dalam beberapa bulan terakhir telah memicu kekhawatiran internasional akan pecahnya perang regional terbuka.

Dunia menanti bagaimana posisi negara-negara besar dan berkembang — termasuk Indonesia — dalam menghadapi krisis ini.

Sebab, ketegangan ini bukan hanya soal pertahanan atau teritorial, melainkan juga soal prinsip kemanusiaan, keadilan internasional, dan tatanan hukum global yang seharusnya berlaku setara bagi semua bangsa.

Indonesia di Tengah Dilema Global

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan anggota tetap Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia dihadapkan pada dilema klasik: di satu sisi harus menjaga hubungan baik dengan semua negara demi kepentingan diplomatik dan ekonomi; di sisi lain terikat oleh konstitusi dan amanat sejarah untuk menentang segala bentuk penjajahan dan pelanggaran hak asasi manusia di mana pun terjadi.

Sikap resmi pemerintah Indonesia sejauh ini terkesan hati-hati dan menghindari pernyataan yang bisa diartikan sebagai keberpihakan langsung kepada salah satu pihak.

Melalui Kementerian Luar Negeri, Indonesia menyerukan penghentian kekerasan dan penyelesaian melalui dialog damai, sebagaimana tertuang dalam prinsip politik luar negeri bebas aktif.

Namun, pernyataan normatif ini tidak cukup di tengah fakta-fakta yang menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional — terutama oleh Israel — yang selama ini diabaikan oleh banyak negara Barat.

Konsistensi dengan Konstitusi UUD 1945

Pasal 1 Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Amanat konstitusional ini mewajibkan Indonesia untuk berdiri di pihak korban penindasan, siapa pun mereka dan di mana pun mereka berada.

Dalam konteks konflik Israel-Iran, yang paling nyata adalah kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina yang hingga kini belum mendapatkan keadilan.

Iran memang pihak yang kontroversial dalam politik regional, tetapi tak bisa dibantah bahwa selama ini Israel terus melanggar resolusi PBB, membangun pemukiman ilegal, serta melancarkan blokade brutal atas Gaza yang telah menyebabkan bencana kemanusiaan berkepanjangan.

Indonesia, demi menjaga martabat politik luar negerinya, tidak boleh terjebak dalam permainan narasi Barat yang cenderung mempersalahkan Iran semata tanpa mengungkap akar masalah sebenarnya, yakni agresi Israel atas hak-hak rakyat Palestina.

Risiko dan Peluang Diplomatik

Mengambil sikap tegas tentu bukan tanpa risiko. Indonesia harus berhitung cermat atas dampaknya terhadap hubungan dagang, investasi, dan kemitraan strategis dengan negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan bahkan Arab Saudi yang belakangan menunjukkan pendekatan baru ke Israel.

Namun Indonesia juga punya peluang besar untuk memperkuat perannya sebagai juru damai dunia Islam dan dunia Global South. Dengan tetap memegang prinsip anti-penjajahan, Indonesia bisa memperkuat hubungan dengan negara-negara OIC (Organisasi Kerja Sama Islam) dan blok Non-Blok, yang sama-sama mendambakan keadilan dalam politik global.

Dalam sejarahnya, Indonesia berani mengambil posisi moral tinggi saat menolak Israel di Asian Games 1962 atau saat menjadi pelopor Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung yang melawan kolonialisme. Sikap ini justru meningkatkan kehormatan Indonesia di mata dunia, bukan menurunkannya.

Menghindari Netralitas Palsu

Netralitas dalam politik internasional tidak berarti diam atau abai terhadap pelanggaran kemanusiaan. Netralitas palsu justru akan melukai amanat konstitusi dan merusak reputasi Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia.

Indonesia harus mendorong investigasi independen internasional atas pelanggaran Israel, seraya mengajak Iran untuk menghindari aksi balasan yang memperkeruh suasana. Ini jalan tengah yang terukur, realistis, dan tetap berprinsip.

Ke depan, Indonesia harus mengembangkan model diplomasi baru yang teguh pada prinsip anti-penjajahan, berlandaskan keadilan universal, dan tidak mudah tunduk pada tekanan blok kekuatan besar mana pun.

Dunia sedang butuh kekuatan moral baru dari Asia, dan Indonesia bisa menjadi salah satunya.

Sebagaimana dikatakan Bung Karno dalam pidatonya di PBB 1960: “Selama dunia masih diwarnai penjajahan, perjuangan belum selesai.”

Kalimat Bung Karno itu harus menjadi pengingat abadi dalam menentukan sikap Indonesia dalam setiap krisis global, termasuk konflik Israel versus Iran saat ini.

Sikap terukur, konsisten, dan berbasis konstitusi bukan hanya amanat sejarah, tetapi kebutuhan strategis Indonesia untuk tetap dihormati dan dipercaya dalam percaturan dunia.

EDITORIAL NASIONAL.NEWS

TERKAIT LAINNYA

Exit mobile version