Ketika Rasulullah Mengadu pada Allah dan tentang Gadget Kita

INTI dakwah Rasulullah adalah menyampaikan Al-Qur’an kepada segenap umat manusia; dan beliau tidak pernah bergeser darinya. Maka, sikap manusia pun terbelah secara nyata.

Dan, betapa sering beliau harus menghadapi kenyataan-kenyataan getir, sampai-sampai beliau mengadu kepada Allah tentang perilaku mereka: “Berkatalah Rasul: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (Qs. al-Furqan: 30).

Bacaan Lainnya

Apakah maksud pengaduan beliau ini?

Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah menceritakan perihal Rasul dan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” Hal itu dikarenakan kaum musyrikin tidak mau memperhatikan Al-Qur’an, tidak juga mendengarkannya, sebagaimana firman Allah: “Dan orang-orang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (Qs. Fushshilat: 26).

Bila Al-Qur’an dibacakan, mereka membikin banyak keributan dan membicarakan hal-hal lain, sehingga tidak bisa mendengar bacaannya. Ini termasuk mengabaikan Al-Qur’an. Tidak mau mengamalkan dan menghafalnya, juga termasuk mengabaikannya. Tidak mau mengimani dan membenarkannya, juga termasuk mengabaikannya.

Tidak mau merenungkan dan memahaminya, juga termasuk mengabaikannya. Tidak mau mengamalkannya, mematuhi perintah-perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya, juga termasuk mengabaikannya. Bergeser dan condong kepada selain Al-Qur’an, seperti syair, perkataan, nyanyian, permainan, ungkapan, atau tatacara yang diambil dari selain Al-Qur’an, juga termasuk mengabaikannya.

Kami memohon kepada Allah yang Maha Mulia, Maha Pemberi, dan Berkuasa atas segala sesuatu, agar menyelamatkan kita dari hal-hal yang mengundang murka-Nya, memperjalankan kita di dalam hal-hal yang mendatangkan ridha-Nya, seperti menghafalkan dan memahami Kitab-Nya, serta menegakkan konsekuensi-konsekuensinya sepanjang siang maupun malam, menurut cara yang Dia cintai dan ridhai. Sungguh Dia Maha Pemurah lagi Maha Pemberi.

Menurut al-Hafizh Ibnul Jauzi, banyak ulama’ lain yang berpandangan bahwa kalimat tersebut diucapkan oleh Rasulullah pada Hari Kiamat, ketika mendapati kenyataan sebagian umatnya yang tersesat, padahal Allah telah menurunkan bimbingan yang jelas, mudah, dan lengkap. Seolah-olah Allah bertanya kepada beliau, “Mengapa mereka masih bisa tersesat?” Jawaban beliau pasti, “Karena mereka tidak memperdulikan petunjuk-Mu, ya Allah”.

Oleh karenanya, Ibnu Mas’ud berpesan: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah sajian hidangan dari Allah (ma’dubatullah), maka ambillah darinya semaksimal yang kalian mampu. Sungguh, aku tidak melihat sesuatu yang lebih remeh dibanding sebuah rumah yang di dalamnya tidak ada sedikit pun bagian dari Kitabullah. Sungguh hati yang di dalamnya tidak ada sedikit pun bagian dari Kitabullah pastilah roboh, seperti robohnya rumah yang tidak berpenghuni.” (Riwayat ad-Darimi. Para perawinya terpercaya).

Mari mengevaluasi diri sendiri. Berapa banyak bagian dari Kitabullah yang ada di rumah kita? Tentu saja, bukan hanya Mushaf dan terjemahannya, namun nilai-nilai, ajaran, dan bacaannya. Ketika Al-Qur’an menyuruh menegakkan shalat, bagaimana di rumah kita?

Saat Al-Qur’an menyeru kaum wanita agar menutup aurat, seperti apa perilaku para wanita dari keluarga kita? Tatkala Al-Qur’an menyuruh menjauhi perzinaan, bagaimana sikap kita? Diantara berbagai suara yang biasa terdengar dari rumah kita, apakah diantaranya terdapat bacaan Al-Qur’an? Apakah ada bagian dari Al-Qur’an yang bersemayam di hati dan pikiran kita? Bandingkan, lebih ringan mana: melantunkan nyanyian atau ayat-ayat Allah? Jika jawaban dari seluruh renungan ini negatif, maka pengaduan Rasulullah di atas sangatlah pantas, dan anjuran Ibnu Mas’ud pun amat tepat.

Renungan seperti ini sangat relevan sekarang. Kita hidup di zaman yang memberi kesempatan seluas-luasnya untuk berbagai hal, termasuk mengkaji aneka ide, gagasan, dan agama. Dengan perangkat-perangkat berteknologi mutakhir yang membanjiri pasar, sekaligus didukung kemampuan software dan operating system yang canggih, ditambah harga yang cukup terjangkau, sesungguhnya pilihan telah berada di ujung jari kita.

Dulu, seseorang harus mendatangi perpustakaan besar untuk mengkaji tafsir-tafsir otoritatif, namun kini justru kitab-kitab itu yang mendatanginya dalam bentuk digital contents yang praktis, ringan, dan seringkali gratis. Demikian pula kitab-kitab hadits, akidah, siroh, sejarah, adab, akhlak, dsb.

Pilihan bahasanya pun sangat luas, mulai dari bahasa internasional seperti Arab dan Inggris, atau berbagai bahasa yang kebanyakan hanya kita kenal namanya seperti Swahili, Malayalam, Amharic, dst. Anda pasti tahu, bahwa sebuah perangkat elektronik yang amat tipis dan bobotnya tidak lebih dari satu kilogram, kini sanggup memuat ribuan kitab yang jika dicetak harus diangkut oleh beberapa truk trailer!

Sayangnya, kemampuan gadget semacam itu lebih banyak diarahkan kepada yang negatif dan sia-sia. Mayoritas laptop, i-Pad, smartphone, dsb. justru dipadati game dan sarana hiburan sekuler.

Bertanyalah kepada bocah-bocah SD yang sekarang ini sudah menenteng HP kemana-mana, untuk apa alat itu mereka pergunakan? Anda pasti sudah bisa menduga jawabannya. Yang jelas, bukan untuk mengakses ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, referensi standar, atau kisah teladan.

Sesungguhnya, ketika kitab-kitab standar bisa mendatangi kita dengan hanya memencet tombol, pada kenyataannya buku dan artikel “sampah” atau materi pornografi, juga sama mudahnya untuk mendatangi kita melalui alat-alat itu. Mengapa kita tidak memilih yang berguna, agar alat-alat yang kita beli dengan harga mahal itu tidak sulit dipertanggungjawabkan di akhirat?

Sebagai seorang muslim, ada baiknya kita mewaspadai watak setiap peradaban. Alat-alat itu adalah produk peradaban pesta dan peradaban materi. Tentu saja, nilai-nilai kapitalistik tercitra secara nyata padanya. Jangan latah, tetapi bersikaplah tenang dan hati-hati.

Seperti tubuh, kita akan mati jika menolak mengonsumsi apa saja, tetapi kita juga akan mati jika mau memakan apa saja. Ada bahan yang baik bagi tubuh, ada juga yang buruk. Perangkat-perangkat itu, yakni contents di dalamnya, semestinya kita sikapi seperti makanan bagi jiwa dan pikiran. Jangan ditolak semuanya, tetapi jangan diterima semuanya. Kita harus memakainya secara bijak, termasuk mengajari anak-anak kita bagaimana menggunakannya.

Kita patut khawatir, jangan-jangan zaman inilah penyumbang terbesar pengaduan Rasulullah kepada Tuhannya di akhirat nanti, padahal kita berada di dalamnya. Yakni, ketika lebih banyak orang yang tidak lagi perduli kepada Kitabullah, dan justru khidmat menyimak wejangan penyanyi, khusyu’ mengejer level game-game, manggut-manggut pada bualan peramal, dan penuh takzim pada saran dari para budak materi dan penyembah dunia.

Jika kelak Rasulullah mengucapkan kalimat itu di hadapan Allah, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sebagai sesuatu yang diabaikan”, apakah kita termasuk di dalamnya? Na’udzu billah. Wallahu a’lam.

KH. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh pondok Pesantren Hidayatullah Malang

Pos terkait