Sejenak tentang Secangkir Kopi, Nikmat Tuhan, dan Refleksi Keabadian

MUSIM hujan telah tiba. Langit yang kelabu dan gemuruh hujan menciptakan suasana yang akrab, terutama di kedai kopi yang kini semakin ramai oleh pengunjung. Banyak dari mereka sekadar menyesap kopi hangat untuk menemani waktu, tetapi tidak demikian halnya dengan saya.

Bagi saya, kopi bukan sekadar minuman yang perlahan menjadi dingin lalu habis. Kopi adalah medium, teman setia yang memunculkan renungan, pemikiran, dan tulisan. Di situlah nilai sejatinya. Bukan pada ampas yang tertinggal, melainkan pada ide-ide yang tercurah selama menikmatinya.

secangkir kopi hasman

Seperti sore ini, di sebuah asrama sederhana di Ciputat, saya duduk dengan secangkir kopi kemasan yang baru saya beli dari warung Madura 24 jam. Hujan deras mengetuk jendela kamar, dan aroma kopi yang khas memenuhi ruangan.

Bersama kerupuk seharga lima ribu rupiah, saya tenggelam dalam kenyamanan sederhana. Hanya dengan menggulir reels di Instagram, kopi dan kerupuk seolah menjadi pengantar kecil untuk menikmati hujan dari sudut pandang yang hangat.

Namun, waktu berjalan. Kopi yang tadi mengepul hangat mulai mendingin, dan kerupuk yang renyah pun habis. Saya berganti posisi, dari duduk menjadi tengkurap di atas kasur. Di samping saya, pena dan buku kosong telah siap. Pertanyaan itu muncul, apa yang akan saya tulis hari ini?

Inspirasi dari Hujan

Melihat hujan yang terus turun deras, saya teringat satu hal: hujan adalah salah satu wujud nikmat Tuhan yang sering terlupakan. Dengan takjub saya memikirkan, betapa banyak karunia yang Allah berikan, bahkan sejak saya masih berada dalam rahim ibu. Tulisan saya dimulai dari sebuah refleksi sederhana, yakni bagaimana Allah mencukupi kebutuhan kita dalam setiap fase kehidupan.

Di dalam rahim, saya hanya bergantung pada satu sumber kehidupan, yaitu tali pusar yang menjadi jalur makanan dari ibu saya. Ketika saya lahir, Allah mencabut nikmat itu, tetapi menggantinya dengan dua sumber rezeki baru: air susu ibu (ASI).

Ketika ASI tidak lagi mencukupi, nikmat itu kembali bertambah—Allah menggantinya dengan empat sumber rezeki: hewan yang melata di bumi, hasil dari susu dan telur, air yang turun dari langit, serta tumbuhan yang tumbuh subur di tanah. Bahkan setelah kematian, Allah menjanjikan pengganti yang lebih besar: delapan pintu surga.

Keabadian dalam Tulisan

Refleksi ini membawa saya pada pemikiran yang lebih mendalam tentang tulisan. Seperti nikmat yang Allah berikan, tulisan adalah bentuk “warisan keabadian” yang kita tinggalkan. Ibnu Qayyim Al-Jauzi pernah berkata, “Allah tidak akan menutup satu pintu dengan hikmah, kecuali dengan membukakan dua pintu dengan rahmat-Nya”. Pernyataan ini sepenarian tidak hanya dalam kehidupan, tetapi juga dalam proses kreatif menulis. Setiap ide yang tertuang dalam tulisan adalah pintu menuju pengaruh yang lebih luas, bahkan melampaui kehidupan si penulis.

Tulisan adalah jembatan antara masa kini dan masa depan, antara pemikiran seorang individu dan dunia di luar dirinya. Sebagaimana kata Filsuf Yunani Plato, “Tulisan adalah lukisan dari pikiran yang dapat bertahan lebih lama daripada kehidupan itu sendiri”. Tulisan menciptakan keabadian, memungkinkan pemikiran untuk tetap hidup di tengah arus waktu yang terus berjalan.

Ketika pena saya menari di atas kertas, saya menyadari betapa kecilnya ritual ini dibandingkan dengan luasnya kehidupan. Namun, dalam kesederhanaan ini, ada keindahan. Saya mengilustrasikan hujan sebagai nikmat yang tidak pernah habis. Hujan adalah pengingat akan kasih sayang Allah yang melimpah, sama seperti tulisan yang menjadi saksi kecil atas rasa syukur saya.

Menulis tidak perlu megah, cukup berawal dari ide-ide sederhana yang menyentuh hati. Dalam hujan sore itu, saya menuliskan kisah tentang perjalanan hidup yang penuh nikmat, dari satu pintu rezeki ke pintu lainnya. Saya membayangkan betapa banyak rahmat yang telah Allah limpahkan sejak saya lahir hingga hari ini. Melalui pena dan kertas, saya mencoba mengabadikan rasa syukur itu.

Perjodohan Antara Kopi, Hujan, dan Pikiran

Hujan akhirnya mereda. Sisa kopi di cangkir sudah dingin sepenuhnya, tetapi pikiran saya terus menjelajah. Sore yang kelihatannya biasa menjadi saat di mana saya menyadari, betapa tulisan memiliki kekuatan yang luar biasa. Tulisan bukan hanya catatan dari apa yang saya pikirkan, tetapi juga sebuah sarana untuk meninggalkan jejak yang mungkin akan dibaca oleh generasi mendatang.

Sebagaimana kata Filsuf Perancis Voltaire, “Menulis adalah cara berbicara kepada orang lain tanpa suara, dan kepada mereka yang belum lahir”. Dengan menulis, kita membangun warisan yang melampaui waktu. Hujan yang turun sore ini adalah bagian dari siklus alam yang terus berulang, tetapi tulisan saya tentangnya akan tetap ada, bahkan ketika hujan berikutnya mengguyur bumi.

Hari itu saya menyadari, menulis adalah salah satu bentuk syukur. Jika kopi, hujan, dan kerupuk lima ribu rupiah berjodoh serta bisa menjadi awal dari tulisan yang bermakna, maka saya yakin setiap orang memiliki cerita yang dapat diabadikan. Menulis adalah cara kita untuk mengilustrasikan kehidupan, sebagaimana Allah telah mengilustrasikan nikmat-Nya kepada kita.

Ibnu Qayyim Al-Jauzi mengingatkan bahwa segala sesuatu yang Allah ambil akan diganti dengan yang lebih baik. Dalam menulis, kehilangan waktu atau tenaga tidak sia-sia, karena tulisan yang baik akan menjadi bekal yang abadi, sebagaimana rahmat Allah yang tidak pernah habis.

Dengan hujan sebagai saksi, sore itu saya mencatat bukan hanya pemikiran, tetapi juga rasa syukur saya kepada Sang Pencipta. Bagi saya, tulisan adalah salah satu bentuk keabadian, di mana ide-ide sederhana bisa hidup lebih lama dari kehidupan itu sendiri.

HASMAN DWIPANGGA, penulis adalah freelance jouralist nasional.news dan mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

Pos terkait