NASIONAL.NEWS — Komunitas perempuan Indonesia dari berbagai lintas sektor dan latar belakang berkumpul dalam sebuah forum pernyataan bersama bertajuk ‘One Million Women for Gaza’ di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Konferensi pers nasional ini menjadi bagian dari gerakan solidaritas yang diprakarsai sayap perempuan Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina (ARI-BP), berkolaborasi dengan Pimpinan Pusat Wanita Islam, serta didukung berbagai organisasi perempuan, komunitas keagamaan, akademisi, pelajar, ibu rumah tangga, hingga pelaku UMKM.
Pernyataan sikap ini menjadi penanda dimulainya aksi damai ‘One Million Women for Gaza’, yang dijadwalkan berlangsung pada Ahad, 6 Juli 2025, pukul 06.00–10.00 WIB, berlokasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Boikot Produk Terafiliasi Israel
Gerakan ini menjadi wadah berhimpunnya perempuan dari berbagai agama, suku, profesi, dan usia yang terpanggil oleh tragedi kemanusiaan di Palestina.
Ketua Umum sayap perempuan ARI-BP, Sabriati Aziz, dalam keterangannya kepada media ini menjelaskan deklarasi nasional mengenai boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel.
“Kejahatan dan penjajahan Israel harus dihentikan salah satunya dengan cara memboikotnya secara ekonomi. Komunitas internasional pun telah mendesak Uni Eropa untuk memboikot Israel yang dianggap telah gagal memenuhi persyaratan HAM,” ujar Sabriati.
Deklarasi yang dibacakan memuat lima komitmen utama. Pertama, memboikot produk yang memiliki keterkaitan dengan entitas pro-Israel. Kedua, mengampanyekan gerakan #GantiProduk dan edukasi konsumen.
Ketiga, memperkuat jaringan solidaritas ekonomi di kalangan perempuan. Keempat, menyuarakan keadilan Palestina di ruang-ruang publik. Dan kelima, mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap tegas dalam mendukung kemerdekaan Palestina.
“Boikot produk adalah yang paling mungkin kita lakukan dalam rangka mendesak agar genosida di Palestina segera dihentikan,” tegas Sabriati.
One Million Women for Gaza
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Wanita Islam, Marfuah Musthofa, mengatakan gerakan One Million Women for Gaza ini tidak hanya menegaskan komitmen moral terhadap perjuangan rakyat Palestina, tetapi juga menggambarkan bahwa tekanan sipil dapat diekspresikan melalui jalur ekonomi. Konsumsi, dalam konteks ini, menjadi instrumen politis.
Marfuah menambahkan bahwa gerakan ini tak semata mengajak untuk menghentikan pembelian terhadap produk tertentu.
Lebih jauh, ia mendorong masyarakat mendukung ekonomi nasional dengan memilih produk lokal, halal, dan UMKM perempuan sebagai alternatif etis.
“Kami percaya bahwa konsumsi adalah tindakan politik. Setiap rupiah yang kita belanjakan memiliki dampak terhadap keadilan global,” ujarnya.
Dalam forum tersebut, ditegaskan bahwa agresi militer dan pendudukan Israel adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Oleh sebab itu, mereka menolak segala bentuk normalisasi hubungan maupun dukungan terhadap entitas yang mendukung penjajahan.
“Boikot adalah hak. Solidaritas adalah kekuatan. Perempuan bergerak, dunia berubah,” seru Marfuah, merangkum semangat forum tersebut.
Dukungan juga datang dari kalangan buruh. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirah, menyatakan bahwa komunitas buruh nasional maupun internasional berdiri bersama rakyat Palestina.
“Kalau masih membela penjajahan, perlu kita tanyakan: mereka ini warga Indonesia atau agen zionis?” ucapnya.
Desak Evaluasi Kerjasama Ekonomi
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, di kesempatan yang sama melontarkan peringatan mengenai dunia keuangan internasional yang tidak netral dalam menyikapi penderitaan Palestina.
Ia secara gamblang menyebut keterlibatan korporasi raksasa dalam aliran dana yang diduga menopang infrastruktur penjajahan dan agresi bersenjata. Laporan resmi PBB, menurutnya, sudah cukup menjadi landasan moral dan politik bagi negara-negara anggota, termasuk Indonesia, untuk bersikap.
“Maka saya menyerukan agar pemerintah, khususnya Presiden dan Kementerian Luar Negeri, mengevaluasi ulang setiap bentuk kerja sama ekonomi dengan lembaga yang terafiliasi pada kekerasan sistemik terhadap rakyat Palestina,” ujarnya.
Sudarnoto tidak hanya menyoroti aspek ekonomi, tetapi juga dimensi etika dalam diplomasi. Baginya, kemitraan yang tidak disertai komitmen terhadap keadilan hanya akan melanggengkan struktur penindasan global. Ia mengajak Indonesia untuk berdiri tegak pada prinsip bahwa keuntungan tidak boleh dibeli dengan darah warga sipil yang tak berdosa.