Manusia dan Keseimbangan Hidup: Sebuah Refleksi Sejarah

keseimbangan

DALAM perjalanan panjang sejarah umat manusia, kita sering mendapati dua pola sikap yang mendominasi kehidupan manusia.

Kedua pola ini telah menjadi sumber renungan dan pelajaran hidup bagi banyak generasi.

Bacaan Lainnya

Pertama, manusia yang merasa kekurangan

Kelompok pertama terdiri dari mereka yang terjebak dalam pesona dunia.

Sejarah mencatat banyak figur yang tergoda oleh kekayaan, kuasa, dan harta, sehingga mereka lupa pada esensi kehidupan yang sejati.

Contohnya, Fir’aun dari Mesir Kuno yang dengan keras kepala menolak kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa, hanya karena tak ingin kehilangan kekuasaannya.

Kelompok ini sering kali lupa bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Segala kekayaan dan kejayaan yang mereka kumpulkan akan sia-sia ketika ajal menjemput.

Seperti yang Rasulullah ungkapkan dalam Hadits Al Baihaqi, “Mengumpulkan harta yang tidak akan engkau makan, meng-angan-angan apa yang tidak terlaksana, dan membangun apa yang engkau tidak akan tinggal.”

Kedua, manusia yang merasa cukup

Di sisi lain, ada kelompok manusia yang menjalani hidup dengan penuh syukur.

Mereka mengerti bahwa kenikmatan dunia hanyalah pinjaman sementara.

Salah satu contoh terbaik adalah Nabi Ayub yang meski diuji dengan berbagai cobaan, tetap bersabar dan bersyukur kepada Allah SWT.

Dikatakan bahwa kekayaan sejati bukanlah berapa banyak harta yang kita miliki, melainkan ketenangan dan kekayaan jiwa. Seperti yang disebutkan dalam Hadits Al Bukhari dan Muslim,

“Bukannya kekayaan itu karena banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan jiwa”.

Mengapa Keseimbangan Penting?

Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa kejatuhan banyak peradaban besar disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pencapaian duniawi dan nilai-nilai spiritual.

Romawi, contohnya, jatuh karena dekadensi moral dan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai spiritual.

Keseimbangan hidup antara duniawi dan ukhrowi memungkinkan manusia untuk meraih kesuksesan di dunia tanpa mengabaikan persiapan untuk kehidupan akhirat.

Penutup

Dalam menghadapi kehidupan ini, kita harus selalu meminta petunjuk dari Allah SWT agar kita termasuk dalam kelompok yang selalu mensyukuri nikmat.

Menghindari perangkap dunia dengan menjalani hidup yang penuh keseimbangan dan qana’ah akan membawa kedamaian dalam jiwa kita.

Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sungguh beruntung orang yang berserah diri, diberi rizki yang memadai (cukup) dan Allah menjadikan dia puas (qana’ah) dengan pemberian itu.”

Semoga kita selalu diberikan kekuatan dan kesabaran untuk memilih jalan yang benar dan berada di bawah lindungan-Nya.

*) Bambang Subekti Sukardi, penulis adalah pengusaha tinggal di Jakarta

Pos terkait