JIKA muncul satu pertanyaan, apa yang dimaksud permata hati? Jawabannya adalah dialah orang yang paling berharga dan paling aku sayang. Heemm, okelah kalau begitu.
Lantas, bagaimana dengan kehidupan manusia di dunia ini? Ternyata ada 4 permata dalam diri manusia dan ada pula 4 hal yang membinasakannya. Apa itu?
Sebelum sampai kepada 4 hal tersebut, perlu kiranya disampaikan terlebih dahulu tentang mahluk ciptaan Tuhan yang hidupnya di tempat yang berbeda.
Mereka adalah mahluk yang hidup di atas bumi yaitu manusia, anjing, monyet dan banyak yang lainnya lagi.
Kemudian ada mahluk yang hidup di bawah bumi yaitu cacing, undur undur, dan banyak lagi. Ada juga mahluk yang hidup di dalam air seperti ikan, kuda nil, dan semacamnya.
Dari semua itu, hanya manusialah yang paling sempurna hidupnya. Manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik baiknya. Dalam surat At-Tiin ayat 4, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk terbaik. Ia diciptakan dengan bentuk fisik yang indah, juga diberi perangkat lunak yang sempurna, seperti akal pikiran, rasa, dan karsa (kehendak). Manusia berbeda dari makhluk Allah lainnya.
Malaikat diciptakan hanya memiliki akal tanpa diberi syahwat dan nafsu. Hewan dibekali syahwat sehingga hidupnya hanya mengikuti keinginan kebutuhan badannya; makan, minum, berhubungan badan dan segala keinginan yang bersifat jasmaniah.
Sementara setan diciptakan hanya dengan bekal nafsu sehingga sepanjang hidupnya selalu ingkar akan nikmat Allah.
Manusia diciptakan dengan segala sesuatu yang dikaruniakan kepada malaikat, hewan, dan setan, yakni berupa akal pikiran, syahwat, dan hawa nafsu.
Oleh karena itu, kehidupan umat manusia lebih dinamis, karena manusia berjuang dalam tarikan antara ketiganya.
Manusia bisa menjadi seperti malaikat hanya tunduk patuh pada Allah, bisa seperti hewan hanya mementingkan keinginan jasmaninya, ataupun bisa seperti setan hanya mengumbar hawa nafsunya.
Permata Manusia
Sebagai makhluk ciptaan dalam bentuk terbaik, manusia dikaruniai empat hal sebagai permata dirinya. Empat permata ini disebutkan Rasulullah dalam hadistnya, sebagaimana dikutip dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعَةُ جَوَهِرَ فِيْ جِسْمِ بَنِيْ اَدَمَ يُزَلُهَا اَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ اَمَّا الْجَوَاهِرُ فَالْعَقْلُ وَالدِّيْنُ وَالْحَيَاءُ وَالْعَمَلُ الْصَّالِحُ
“Ada empat permata dalam tubuh manusia yang dapat hilang karena empat hal. Empat permata tersebut adalah “akal, agama, sifat malu, dan amal salih”
Permata pertama, adalah, Allah karuniai nanusia dengan akal. Akal adalah alat untuk memahami agama. Agama adalah rambu-rambu atau aturan yang memberikan arah pada manusia.
Sifat malu adalah pengendali, dan amal salih adalah buah dari akal memahami agama dengan pengendali berupa sifat malu tadi.
Akal menjadi pemimpin dalam tubuh manusia untuk memahami mana yang hak dan batil, mana yang patut ataupun tidak, mana yang harus dikerjakan ataupun ditinggalkan.
Ibnu Hajar al-Asyqalani dalam kitabnya, Nashaihul Ibad, mendefinisikan akal sebagai جَوْهَرٌ رُوْحَانِيٌّ خَلَقَهُ اللهُ تَعَالَى مُتَعَلَّقًا بِبَدْنِ الاِنْسَانِ يُعْرَفُ بِهِ الْحَقُّ وَالْبَاطِلُ “Permata ruhani ciptaan Allah yang berada dalam jasad manusia untuk mengetahui sesuatu yang hak dan batil.”
Permata kedua, adalah, yang dikaruniakan Allah kepada manusia yaitu agama. Agama adalah aturan atau norma yang mengarahkan akal manusia untuk menerima hal-hal yang baik, layak, dan pantas.
Agama menjadi pedoman bagaimana manusia menjalani kehidupannya; bagaimana mengendalikan syahwat dan nafsu.
Akal sehat akan mengarahkan kita dapat menerima agama yang hanif (lurus), yang mampu memberikan ketenangan lahir batin dan dapat melahirkan sifat pengendali (malu), serta membuahkan amal salih.
Permata ketiga, adalah, yang dikaruniakan Allah kepada manusia yaitu malu. Malu merupakan sifat yang dikembangkan oleh agama untuk mengendalikan perilaku manusia, yang dapat membedakan kita dengan hewan ataupun setan.
Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani membagi malu menjadi dua, yakni haya’un nafsiyun dan haya’un imaniyun.
Haya’un nafsiyun adalah rasa malu yang diberikan Allah pada setiap manusia, seperti rasa malu memperlihatkan auratnya dan sejenisnya. Sifat ini tidak diberikan pada hewan.
Sementara haya’un imaniyun adalah أَنْ يَمْنَعَ المُؤْمِنُ مِنْ فِعْلِ الْمَعَاصِي خَوْفًا مِنَ اللهِ “Ketika seorang mukmin mampu mencegah dirinya untuk berbuat maksiat karena takut kepada Allah subhanahu wata’ala”.
Sifat malu haya’un imaniyun ini hanya diberikan pada orang mukmin yang mampu menggunakan akalnya untuk memahami perintah dan larangan Allah.
Karena itu, wajar jika Rasulullah pernah memberikan nasihat kepada sahabatnya dengan mengatakan: اَلْحَيَاءُ مِنَ الْاِيْمَانِ “Malu itu sebagian dari iman.” Malu untuk berbuat maksiat, malu meninggalkan perintah agama, malu tidak berbuat baik dan lain sebagainya.
Permata keempat atau yang terakhir yang dimiliki manusia adalah amal shalih, yakni perbuatan yang patut dan baik menurut kaidah agama.
Amal shalih adalah buah dari kemampuan kita memahami agama, menjalankan perintah agama, serta kemampuan kita mengendalikan sikap dalam kehidupan.
Banyak orang mampu memahami agama atau mengerti ilmu agama, tetapi tidak mampu mengendalikan syahwat dan nafsunya, sehingga ia tidak memiliki rasa malu. Maka ia hanya bisa melakukan sesuatu yang hanya berorientasi pada kebutuhannya yang kadang merugikan orang lain.
Contoh sederhana yang dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari, betapa banyak orang pandai agama tetapi tidak mampu mengendalikan diri. Sehingga ia bukan mengamalkan ilmu agama.
Ia kemudian hanya memperalat agama untuk kepentingan dirinya atau kelempoknya. Maka akibat yang timbul dari itu bukan amal shalih tetapi justru maksiat.
Mewaspadai Penghancur Permata
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dalam dalam hadits di atas juga mengingatkan pada kita akan bahaya yang mengancam empat permata manusia tersebut. Rasul SAW mengatakan: فَالْغَضَبُ يُزِيْلُ الْعَقْلَ وَالْحَسَدُ يُزِيْلُ الدِّيْنَ وَالطَّمَعُ يُزِيْلُ الْحَيَاءَ وَالْغِيْبَةُ يُزِيْلُ الْعَمَلَ الصَّالِحَ
“Ghadlah (marah-marah) dapat menghilangkan akal, iri dan dengki (hasud) dapat menghilangkan agama, serakah (thama’) dapat menghilangkan sifat malu, dan menggunjing (ghibah) dapat menghilangkan amal shalih”
Bismillah, akhirnya di penghujung tulisan ini, penulis ingin mengingatkan diri sendiri serta mengajak kita semua untuk menghindari sifat ghadlah (marah-marah), sifat hasud (iri dan dengki), sifat thama’ (serakah), dan sifat ghibah (menggunjing).
Keempat hal itu dapat menghilangkan akal, agama, malu, dan amal shalih. Semoga kita dapat mengoptimalkan permata yang ada dalam hidup kita untuk menjadi insan pilihan dan masuk dalam kategori muttaqin (orang yang memiliki ketakwaan).
Kebenaran itu sesungguhnya datang dari Allah Ta’ala dan Dia-lah Yang Maha Benar. Kesalahan merupakan kedhaifan dari penulis.
Dan, Kepada-Nya jualah penulis memohon ampunan atas segala kelemahan, kealpaan, dan kesalahan. Walahu ‘allam bi shawab.
Selamat pagi. Salam sehat selalu.
Ceger, Jumat, 29 September 2023