NASIONAL.NEWS — Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini memasuki usia emas—50 tahun. Sejak berdiri pada 26 Juli 1975, MUI telah memainkan peran sentral sebagai khadimul ummah dan shodiqul hukumah, jembatan strategis antara umat Islam dan negara.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Umat Islam Raizal Arifin menyampaikan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kiprah MUI dalam menjaga kemurnian akidah, menyuarakan moderasi, dan menjadi penjaga moral bangsa.
“Peran ini semakin relevan di tengah tantangan zaman, khususnya di era kecerdasan buatan dan digitalisasi saat ini,” kata Raizal Arifin dalam keterangannya, Sabtu (26/7/2025).
Raizal mengatakan, kita kini hidup dalam zaman yang oleh para ahli disebut sebagai Era Kecerdasan Buatan (AI Age) atau Society 5.0, sebuah fase peradaban ketika interaksi manusia dan mesin menjadi bagian dari keseharian.
Dia menyebutkan, pada tahun 2023 saja, nilai pasar global kecerdasan buatan mencapai lebih dari 500 miliar dolar AS, dan akan terus meningkat hingga diprediksi menembus 1 triliun dolar AS pada tahun 2030.
Di Indonesia, jumlah pengguna internet telah menembus 220 juta orang atau lebih dari 80% populasi, dan mayoritas umat Islam kini hidup dalam ekosistem digital.
“Maka, dakwah tidak lagi bisa bergantung pada pendekatan konvensional semata. PUI percaya, sudah saatnya kita mentransformasikan dakwah menjadi Gerakan Dakwah Islah, yaitu dakwah yang menyentuh aspek kehidupan nyata: ekonomi, pendidikan, kesehatan, teknologi, dan kesejahteraan umat,” katanya.
Warisan Ulama
Lebih jauh Raizal menekankan bahwa sejak era KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi, para pendiri PUI telah mengingatkan bahwa tugas umat Islam bukan hanya menjaga aqidah, tapi juga membangun peradaban yang maslahat.
“KH Ahmad Sanusi pernah berkata, ‘Umat yang kuat tidak hanya tahu hukum, tetapi juga bisa berdiri tegak di atas kaki sendiri.’ Ini adalah seruan untuk menguatkan basis ekonomi umat,” kata Raizal.
Ia mengutip bahwa lebih dari 60% masyarakat miskin di Indonesia berasal dari komunitas mayoritas Muslim. Maka, tegas Raizal, tugas utama para ulama hari ini adalah bukan hanya mempersatukan umat di atas mimbar, tetapi juga mempersatukan mereka dalam kekuatan ekonomi. “Inilah islah: membangun sinergi yang mensejahterakan,” tegasnya.
Menurut Raizal, MUI sebagai majelis para ulama, cendekiawan, dan pemimpin moral umat perlu menjadi inisiator dalam transformasi ini.
Dia menerangkan, mempersatukan umat bukan sekadar simbolik, namun melalui langkah nyata seperti membangun kemandirian pangan, memperkuat ekonomi halal, memberdayakan pesantren, dan mengawal kebijakan publik untuk kemajuan ummat dan Negara Indonesia tercinta.
“Harapan kami dari PUI, di usia emas ini MUI bisa semakin hadir sebagai lembaga yang tidak hanya reaktif terhadap isu, tetapi proaktif membentuk masa depan. Menjadi pandu umat yang mampu menjawab zaman, menjembatani generasi tua dan muda, memadukan warisan tradisi dengan tuntutan inovasi,” katanya.
Pihaknya pun siap bersinergi dalam gerakan dakwah islah ini. Kita tidak ingin umat ini tercerai-berai karena perbedaan, tetapi justru bersatu karena kepedulian bersama terhadap kualitas hidup ummat agar bahagia di dunia dan di akhirat.
“Sebagaimana sabda Nabi SAW, ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.’ Maka mari kita bersatu, bersinergi, dan berinovasi demi masa depan umat dan bangsa yang maju dan sejahtera,” pungkasnya.