NASIONAL.NEWS (Jakarta) — Serap Aspirasi Masyarakat yang diselenggarakan MPR RI bersama Dr. Al Muzzammil Yusuf menjadi salah satu agenda dalam rangkaian Musyawarah Nasional (Munas) VI Muslimat Hidayatullah (Mushida) di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Forum ini dirancang untuk memperluas pemahaman publik mengenai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus memperkuat peran masyarakat dalam pembangunan.
Di hadapan peserta, Al Muzzammil memaparkan bahwa konstitusi Indonesia tidak hanya mengatur tata kelola negara, tetapi juga membuka ruang luas bagi partisipasi masyarakat.
Karena itu, menurutnya, UUD 1945 harus dipahami bukan semata sebagai dokumen hukum, tetapi sebagai pedoman kolaboratif antara negara dan masyarakat sipil.
“UUD 1945 jika diringkas maka isinya ada lima yaitu konsep negara demokrasi, konsep negara hukum, konsep SDM unggul, konsep pengelolaan sumber daya alam kita yang kaya, dan konsep untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara,” jelas Al Muzzammil.
Ia menegaskan bahwa kerangka legal tersebut memberikan arah bagi seluruh elemen bangsa dalam menjaga demokrasi dan mengawal perjalanan institusi negara.
Empat Pilar Kebangsaan
Pada pemaparan awal, Al Muzzammil menguraikan kembali empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Keempat pilar tersebut, menurutnya, menjadi fondasi yang menyatukan seluruh elemen masyarakat dalam kerangka hukum dan kehidupan berbangsa. Ia menyoroti perubahan mendasar pasca reformasi yang mengubah pelaksanaan kedaulatan rakyat.
“Negara demokrasi itu ada pasalnya yaitu Pasal 1 ayat 2 berbunyi ‘kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang dasar’. Dulu hal ini dilaksanakan oleh MPR RI. Setelah reformasi, dilaksanakan menurut undang undang dasar dan inilah yang mengubah MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara,” terangnya.
Penataan ulang kelembagaan negara ini, lanjutnya, menempatkan semua lembaga negara dalam posisi sejajar sesuai mandat masing-masing.
“MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi tapi menjadi lembaga negara. Jadi MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, KY, dan lainnya itu semua sejajar. Dan ada satu kedaulatan rakyat yang tidak diambil oleh MPR yaitu memilih presiden. Sekarang diserahkan ke rakyat dengan pemilihan langsung,” jelasnya. Menurutnya, sistem ini mempertegas karakter negara demokrasi yang bertumpu pada representasi politik.
Karena demokrasi berjalan melalui mekanisme perwakilan, Al Muzzammil menekankan pentingnya peran partai politik. “Negara demokrasi menjadikan partai politik sebagai pilar, karena untuk terpilih menjadi eksekutif-legislatif harus menggunakan kendaraan partai politik.”
Ia kemudian membandingkan peran partai dengan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti Hidayatullah, NU, dan Muhammadiyah.
“Ormas seperti Hidayatullah, NU, Muhammadiyah, dan lain lain itu sebagai ormas karena itu tidak bisa berkompetisi di demokrasi. Sama dengan kampus, seribu profesor yang paling pandai di Indonesia tidak bisa berkumpul memutuskan seratus dari kami harus masuk DPR-MPR,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kualitas partai akan menentukan kualitas lembaga negara. “Baik buruknya partai politik adalah baik buruknya DPR dan eksekutif,” ujarnya.
Hukum Penopang Demokrasi
Al Muzzammil kemudian mendalami konsep negara hukum yang menjadi penopang utama demokrasi. Ia menjelaskan bahwa tanpa peneguhan prinsip negara hukum, demokrasi dapat berubah menjadi negara kekuasaan atau machtstaat.
“Negara demokrasi harus dikawal dengan konsep negara hukum, kalau tidak akan menjadi ‘machtstaat’. Dengan dikawal hukum, kita menjadi negara yang berdasarkan hukum, rechtsstaat,” jelasnya. Ciri negara hukum yang ideal, menurutnya, adalah supremasi hukum dan kesetaraan seluruh warga negara di hadapan hukum.
Pada bagian berikutnya, Al Muzzammil mengaitkan konstitusi dengan peran strategis organisasi kemasyarakatan, khususnya ormas pendidikan dan dakwah. Ia menilai konstitusi memberi ruang besar bagi kontribusi masyarakat dalam pembangunan nasional.
Karena itu, UUD 1945 harus dimaknai sebagai pedoman kolaboratif antara negara dan masyarakat sipil. Di titik ini, ia menyoroti Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan negara menyelenggarakan sistem pendidikan nasional berlandaskan nilai keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, serta kecerdasan bangsa.
“UUD Pasal 31 ayat 3 tidak bisa dijalankan hanya oleh pemerintah. Terimakasih Hidayatullah yang telah membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD Pasal 31 ayat 3 inilah tafsir dari Sila pertama Pancasila,” katanya.
Ia mengajak kader Hidayatullah memperluas peran, tidak hanya dalam ranah sosial-keagamaan, tetapi juga dalam suprastruktur politik tempat kebijakan negara dirumuskan.
“Artinya, kader Hidayatullah ditunggu di suprastruktur politik yang mewarnai infrastruktur politik. Saat ini sudah di infrastruktur tapi belum di suprastruktur,” ujarnya.
Al Muzzammil memberikan apresiasi atas konsistensi gerakan Hidayatullah dalam dakwah dan pendidikan. “Saya ikuti Hidayatullah dalam perjalanannya tidak ada yang aneh aneh, pesantrennya, majalahnya, gerakannya, semua insya Allah shirathal mustaqim sesuai dengan niat pendirinya,” katanya.
