TIMNAS Jepang telah menunjukkan keunggulan luar biasa di awal ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia dengan mengantongi 12 gol dari dua pertandingan. Kunci dari keberhasilan ini jelas: kesabaran, ketenangan, dan skill individu yang mumpuni. Mereka menang dengan cara yang meyakinkan. Jepang membuka ronde ini dengan dua kemenangan besar.
Mereka menghancurkan China 7-0 dan mengalahkan Bahrain 5-0, yang langsung menempatkan Negeri Sakura ini di puncak klasemen Grup C dengan enam poin. Sementara itu, Arab Saudi di posisi kedua dengan empat poin, disusul Bahrain dengan tiga poin, Indonesia dengan dua poin, Australia hanya meraih satu poin, dan China terpuruk dengan nol poin.
Apa yang perlu kita perhatikan di sini adalah, Jepang mencatatkan prestasi ini tanpa satu pun pemain naturalisasi. Semua pemain adalah putra asli Jepang, anak bangsa yang dibesarkan dengan mentalitas juara dan semangat pantang menyerah. Mereka tidak mengandalkan talenta asing, tetapi membangun kekuatan mereka sendiri dari dasar.
Mari kita bandingkan dengan Indonesia. Sebuah negara yang memiliki populasi lebih dari 281 juta jiwa, hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk Jepang yang hanya 123 juta. Dengan populasi yang begitu besar, mengapa Indonesia terus tertinggal di panggung sepak bola Asia? Apa yang salah di sini? Apakah kita kekurangan talenta? Tentu tidak.
Talenta melimpah di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Anak-anak di pelosok desa hingga kota besar tumbuh dengan cinta pada sepak bola. Mereka berlatih di lapangan-lapangan becek, di bawah terik matahari, dengan mimpi besar mengharumkan nama bangsa.
Namun, masalahnya ada pada sistem. Jepang sukses karena mereka memiliki fondasi yang kuat, program pembinaan pemain muda yang konsisten, liga domestik yang kompetitif, dan filosofi permainan yang terarah. Mereka membangun timnas bukan hanya dengan mengandalkan bakat individu, tetapi dengan menciptakan pola permainan yang kohesif dan mentalitas tim yang tangguh.
Sementara di Indonesia, kita sering tergoda untuk mengambil jalan pintas—memilih naturalisasi pemain asing alih-alih fokus pada pengembangan bakat lokal. Padahal, kekuatan sebuah tim tidak bisa dibangun hanya dengan rekrutmen pemain luar. Ini bukan hanya soal kualitas individu, tetapi soal membangun identitas permainan yang kuat, seperti yang dilakukan Jepang.
Kita harus bercermin! Sudah saatnya kita berhenti mencari alasan dan mulai bekerja lebih keras. Kita harus mulai dari bawah, dengan membangun fondasi yang kokoh untuk sepak bola nasional. Pembinaan usia dini harus ditingkatkan, infrastruktur harus diperbaiki, dan liga domestik harus menjadi lebih kompetitif. Jepang telah memberikan pelajaran berharga bahwa konsistensi, dedikasi, dan visi jangka panjang adalah kunci menuju kesuksesan. Kita tidak bisa berharap sukses instan hanya dengan meminjam talenta luar.
Indonesia memiliki potensi besar, tetapi potensi itu harus digali dan diolah dengan cara yang tepat. Tidak ada lagi waktu untuk menunda. Kita memiliki semua sumber daya—jumlah penduduk yang besar, semangat masyarakat yang tinggi, dan kecintaan yang mendalam pada sepak bola. Yang kita butuhkan adalah keseriusan untuk membangun sistem yang mendukung perkembangan sepak bola kita sendiri, tanpa harus terus-menerus bergantung pada pemain naturalisasi. Kita butuh keberanian untuk berinvestasi pada talenta lokal dan memberikan mereka kesempatan untuk berkembang dan bersinar di panggung internasional.
Lagi lagi Jepang
Ketika kita berbicara tentang perkembangan sepakbola di Asia, Jepang lagi lagi selalu menjadi contoh nyata bagaimana negara dengan sumber daya manusia dan fisik yang serupa dengan Indonesia mampu bersaing di panggung global. Bagi Timnas Indonesia, perjalanan menuju puncak persepakbolaan dunia masih penuh tantangan.
Secara fisik, postur tubuh rata-rata pemain sepakbola Jepang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Rata-rata tinggi badan dan kekuatan fisik mereka serupa dengan banyak pemain Asia lainnya. Namun, perbedaan mendasar terletak pada bagaimana Jepang mengelola potensi yang ada. Dalam beberapa dekade terakhir, Jepang mampu menciptakan struktur yang mendukung perkembangan sepakbola dari dasar hingga ke level profesional, sesuatu yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia tampaknya masih terjebak pada pola pikir bahwa kekuatan fisik dan pemain naturalisasi adalah kunci menuju kejayaan sepakbola. Memang, ada beberapa hasil positif dari strategi ini, tetapi apakah ini solusi jangka panjang? Apakah kita hanya ingin meraih kesuksesan sesaat tanpa membangun fondasi yang kuat?
Naturaliasi pemain sebagai stimulan adalah strategi yang kini kerap diterapkan oleh Timnas Indonesia. Menggaet pemain berdarah campuran atau asing yang memiliki ikatan keturunan dengan Indonesia sering kali dianggap sebagai jalan pintas untuk memperkuat skuad. Nama-nama besar seperti Cristian Gonzales, Stefano Lilipaly, Marc Klok, hingga Marteen Paes, dan berderet nama lainnya menjadi contoh sukses dari pemain naturalisasi yang mampu memberikan dampak langsung bagi Timnas. Tetapi, jika kita hanya mengandalkan pemain naturalisasi, kita sedang menggali lubang untuk jangka panjang.
Jepang, yang juga pernah melakukan naturalisasi, memilih pendekatan berbeda. Mereka tidak mengandalkan naturalisasi sebagai tulang punggung timnas, melainkan fokus pada pengembangan talenta lokal. Bahkan ketika Jepang menaturalisasi pemain seperti Ruy Ramos dan Wagner Lopes di era 1990-an, itu dilakukan untuk memberikan motivasi dan contoh kepada pemain lokal, bukan sebagai strategi utama.
Liga Domestik Sebagai Pondasi
Salah satu pelajaran terbesar yang bisa diambil Indonesia dari Jepang adalah bagaimana negara tersebut membenahi sepakbola dari akar rumput. Jepang memulai dari hulunya, yaitu liga domestik. J-League, liga sepakbola profesional Jepang, diluncurkan pada tahun 1993 dengan visi jangka panjang, yaitu membangun liga yang kompetitif dan mendukung perkembangan talenta muda.
Saat itu, Jepang masih berada di luar radar sepakbola dunia. Namun, dengan tekad untuk memajukan sepakbola, mereka tidak hanya membentuk liga profesional yang kuat tetapi juga fokus pada pengembangan pemain sejak usia dini. Hasilnya, Jepang kini menjadi salah satu kekuatan sepakbola Asia, bahkan dunia, dengan pemain-pemainnya bersaing di liga-liga top Eropa.
Bandingkan dengan Indonesia, di mana Liga 1 masih kerap menghadapi masalah klasik seperti kualitas manajemen, infrastruktur stadion yang buruk, hingga minimnya pembinaan usia dini yang berkesinambungan. Fokus yang berlebihan pada hasil instan, tanpa memperhatikan pembangunan jangka panjang, menjadikan sepakbola Indonesia jalan di tempat.
Di Jepang, pembinaan pemain muda dimulai dari usia sangat dini. Mereka memiliki akademi-akademi sepakbola yang terintegrasi dengan sekolah-sekolah. Selain itu, setiap klub profesional di J-League diwajibkan memiliki akademi untuk mengembangkan pemain muda. Dengan sistem seperti ini, Jepang memastikan bahwa talenta-talenta terbaik sudah dipersiapkan sejak usia belia.
Sebaliknya, di Indonesia, meski beberapa klub mulai memiliki akademi, sistem pembinaan pemain muda belum terorganisir dengan baik. Banyak bakat muda Indonesia yang akhirnya tidak berkembang karena kurangnya fasilitas dan pelatihan yang memadai. Akibatnya, Indonesia sering kali harus “impor” talenta lewat pemain naturalisasi atau mencari jalan pintas dengan mengandalkan pemain yang sudah matang di usia yang lebih tua.
Masalah Disiplin dan Mentalitas
Tidak hanya soal sistem pembinaan, mentalitas dan disiplin juga menjadi kunci sukses sepakbola Jepang. Para pemain Jepang dikenal memiliki etos kerja yang tinggi dan disiplin yang luar biasa, baik di dalam maupun di luar lapangan. Mereka paham bahwa untuk bersaing di level internasional, tidak cukup hanya memiliki kemampuan teknis, tetapi juga mental yang kuat dan semangat juang yang pantang menyerah.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Kita kerap melihat kasus pemain yang memiliki bakat luar biasa namun gagal berkembang karena masalah disiplin. Masalah seperti ketidakteraturan dalam latihan, pola hidup yang tidak profesional, hingga perselisihan di dalam tim sering kali menghambat potensi pemain Indonesia.
Jika Indonesia ingin benar-benar bersaing di level internasional, mentalitas dan disiplin ini harus menjadi perhatian utama. Bukan hanya di level pemain, tetapi juga pelatih, manajemen klub, dan seluruh elemen yang terlibat dalam sepakbola.
Faktor lain yang patut dicermati adalah infrastruktur dan fasilitas. Jepang tidak hanya membangun liga yang kompetitif, tetapi juga memastikan bahwa fasilitas pendukung seperti stadion, lapangan latihan, dan pusat-pusat kebugaran tersedia dengan standar internasional. Ini memberikan pemain muda Jepang lingkungan yang optimal untuk berkembang.
Indonesia, sayangnya, masih tertinggal jauh dalam hal ini. Banyak klub yang bahkan tidak memiliki lapangan latihan sendiri, apalagi akademi dengan fasilitas lengkap. Infrastruktur sepakbola di Indonesia masih tersebar dan terpisah-pisah, tanpa adanya kesatuan visi yang jelas untuk membangun masa depan sepakbola yang lebih baik.
Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, sulit bagi Indonesia untuk menciptakan pemain-pemain berkualitas yang bisa bersaing di level internasional. Klub-klub Indonesia perlu mencontoh model Jepang dalam hal ini, dengan investasi jangka panjang pada fasilitas dan akademi sepakbola.
Budaya Kompetisi
Selain infrastruktur, budaya kompetisi juga menjadi pembeda besar antara sepakbola Jepang dan Indonesia. Di Jepang, setiap pemain, sejak usia muda, terbiasa dengan kompetisi yang ketat. Mereka didorong untuk selalu memberikan yang terbaik dalam setiap pertandingan, baik itu di tingkat sekolah, akademi, maupun liga profesional.
Sementara itu, di Indonesia, budaya kompetisi sering kali diwarnai oleh ketidakpastian. Kualitas liga yang fluktuatif, manajemen klub yang sering bermasalah, hingga ketidakadilan dalam sistem kompetisi membuat banyak pemain tidak terbiasa dengan tekanan yang sebenarnya di level internasional. Hal ini berdampak pada mentalitas pemain Indonesia yang sering kali kesulitan menghadapi pertandingan-pertandingan besar.
Budaya kompetisi yang sehat dan profesional harus dibangun di Indonesia. Liga domestik yang kuat akan menciptakan pemain-pemain tangguh yang siap bersaing di level internasional, seperti yang telah dilakukan Jepang dengan J-League.
Jika Indonesia ingin maju dalam sepakbola, sudah saatnya kita berhenti mencari jalan pintas. Mengandalkan pemain naturalisasi hanya akan memberikan hasil sementara, tetapi tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam sepakbola kita. Seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, kesuksesan dalam sepakbola harus dibangun dari dasar, dengan sistem yang terorganisir dan berkelanjutan.
Jepang telah menunjukkan bahwa dengan visi jangka panjang, investasi pada pembinaan usia dini, dan liga domestik yang kompetitif, mereka mampu menciptakan pemain-pemain berkualitas yang siap bersaing di level internasional. Indonesia memiliki potensi yang sama, bahkan mungkin lebih besar, mengingat jumlah penduduk dan bakat yang melimpah. Namun, tanpa sistem yang mendukung, potensi tersebut hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.
Arah Baru Sepakbola Indonesia
Sepakbola Indonesia berada di persimpangan. Kita bisa terus menerapkan strategi jangka pendek dengan mengandalkan pemain naturalisasi, atau kita bisa belajar dari Jepang dan mulai membangun fondasi yang kuat untuk masa depan. Jalan yang kedua mungkin membutuhkan waktu lebih lama, tetapi hasilnya akan lebih berkelanjutan.
Memperbaiki liga domestik, membenahi pembinaan usia dini, kebijakan meningkatkan mentalitas dan disiplin pemain, serta membangun infrastruktur yang memadai adalah langkah-langkah penting yang harus diambil oleh pemerintah dan PSSI sebagai eksekutor. Indonesia memiliki semua elemen yang dibutuhkan untuk menjadi kekuatan sepakbola di Asia, bahkan dunia. Namun, tanpa keseriusan dalam membangun dari akar, mimpi tersebut akan sulit terwujud.
Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita ingin terus mengandalkan jalan pintas, atau kita siap membangun masa depan sepakbola yang lebih baik dengan belajar dari negara yang sudah membuktikan kesuksesannya, seperti Jepang?[]
*) Adam Sukiman, penulis adalah pencinta sepakbola Indonesia dan intern researcher di lembaga Progressive Studies and Empowerment Center (Prospect)