Respons Kritis atas Upaya Intervensi AS terhadap Sertifikasi Halal

KETIKA Amerika Serikat, negara yang kerap mendapuk diri sebagai penjaga ketertiban dan hukum internasional, melayangkan kritik terhadap kebijakan sertifikasi halal Indonesia, banyak pihak dalam negeri yang merasa terusik.

sertifikasi halal

Kritik tersebut, yang menyebut bahwa regulasi halal di Indonesia dianggap menghambat perdagangan, sontak menjadi polemik di ruang publik.

Bahkan, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, secara tegas menyebut bahwa Indonesia memiliki hak dan kepentingan untuk melindungi masyarakatnya dari potensi penyesatan label halal.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, regulasi halal bukan semata-mata isu dagang, tetapi menyangkut prinsip dasar kehidupan beragama warga negara.

Lalu, mengapa negara sebesar Amerika merasa perlu mencampuri urusan internal Indonesia yang berkaitan dengan keimanan warganya?

Kepentingan Ekonomi vs Kedaulatan Regulasi

Poin utama dari kritik AS berakar dari kekhawatiran bahwa sertifikasi halal yang diwajibkan untuk produk-produk tertentu, terutama makanan dan minuman impor, akan menjadi hambatan perdagangan bagi pelaku usaha Amerika yang ingin masuk ke pasar Indonesia.

Dari kacamata liberalisasi perdagangan, kekhawatiran tersebut memang masuk akal. Namun, apakah kepentingan perdagangan bisa mengalahkan prinsip dan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat suatu negara?

Sertifikasi halal bukanlah bentuk proteksionisme ekonomi, melainkan regulasi yang menyangkut jaminan kualitas produk sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman.

Hal ini setara dengan regulasi keamanan pangan, label bebas gluten di negara-negara Barat, atau label “kosher” di komunitas Yahudi.

Jika negara-negara tersebut punya hak untuk menetapkan standar berdasarkan nilai-nilai dan preferensi masyarakatnya, mengapa Indonesia tidak?

Lebih lanjut, dalam konteks global, prinsip kedaulatan hukum seharusnya dihormati. Intervensi Amerika dalam urusan ini terkesan seperti bentuk tekanan terselubung terhadap kebijakan domestik negara berkembang.

Saya melihat, ini adalah pola lama yang sudah sering terjadi di berbagai forum internasional, di mana negara adidaya mencoba “mengoreksi” regulasi domestik negara lain yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingannya, bukan karena bertentangan dengan nilai universal, tetapi karena dianggap mengganggu profit.

Kritik AS Kontra Produktif

Alih-alih memperkuat hubungan perdagangan, langkah Amerika justru bisa memicu resistensi di dalam negeri. Kritik terbuka semacam ini dapat menumbuhkan kesan bahwa AS tidak memahami sensitivitas budaya dan keagamaan masyarakat Indonesia.

Padahal, semua juga tahu, dalam konteks hubungan antarbangsa, penghormatan terhadap sistem hukum dan norma lokal adalah syarat utama untuk menjaga stabilitas diplomatik.

Sebagai negara besar, AS seharusnya bisa menampilkan wajah diplomasi yang lebih elegan. Bukannya menggugat regulasi dalam negeri negara lain melalui tekanan atau kritik terbuka, tapi mengedepankan dialog yang konstruktif.

Apalagi, Indonesia bukan negara kecil yang mudah ditekan begitu saja. Posisi strategis Indonesia dalam geopolitik dan perannya dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara membuatnya layak dihormati sebagai mitra sejajar, bukan subordinat dalam percaturan global.

Selain itu, narasi bahwa sertifikasi halal akan menyulitkan produsen asing juga kurang tepat jika melihat konteks kekinian. Saat ini, justru banyak perusahaan global yang secara proaktif mengurus sertifikasi halal demi memperluas pasar mereka di negara-negara Muslim.

Inilah yang saya kira membuktikan bahwa sertifikasi halal bukan penghalang, melainkan jembatan untuk memperkuat penetrasi pasar. Jadi, yang diperlukan adalah penyesuaian strategi bisnis, bukan menggugat kedaulatan negara lain.

Berdialog, Bukan Dominasi

Dalam dunia yang semakin multipolar, relasi internasional tidak lagi bisa didasarkan pada dominasi satu pihak terhadap pihak lain.

Kekuatan ekonomi memang penting, namun bukan segalanya. Kepekaan budaya, penghormatan terhadap nilai-nilai lokal, dan kemampuan untuk membangun komunikasi yang setara adalah kunci dalam membangun hubungan yang langgeng.

Indonesia telah membuktikan bahwa kebijakan sertifikasi halal bukan bentuk eksklusivisme, melainkan inklusivitas yang menjamin kenyamanan dan kepercayaan konsumen.

Dengan jumlah penduduk Muslim yang sangat besar, keberadaan produk halal justru menjadi peluang pasar bagi perusahaan manapun yang ingin bermain di Indonesia.

Kritik Amerika terhadap kebijakan halal Indonesia mencerminkan satu hal yang menegaskan bahwa masih adanya cara pandang lama yang melihat dunia dari perspektif tunggal.

Amerika tampaknya masih dijangkiti apa yang disebut dengan delusion of grandeur yang membuatnya terus merasa besar dan hebat sendiri. Padahal, dunia saat ini telah berubah.

Negari Paman Sam mestinya bangun dan mulai membuka mata bahwa kekuatan tidak hanya datang dari ekonomi dan militer, tetapi juga dari legitimasi moral, kepekaan sosial, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Jika Amerika ingin tetap menjadi pemimpin global yang dihormati, ia harus belajar menahan diri untuk tidak mudah mencampuri urusan domestik negara lain, terlebih jika itu menyangkut hal-hal prinsipil seperti agama dan budaya.

Sebab, pada akhirnya, kekuatan sejati tidak terletak pada kemampuan memaksa, tetapi pada kesediaan untuk memahami dan bekerja sama secara setara.[]

*) Adam Sukiman, penulis adalah intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) dan Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta.

Pos terkait